Selasa, 23 Oktober 2012

Sate Sepuluh Tusuk





sumber foto; resepmasakan.biz

Angin malam berhembus menerpa tubuhku yang terbungkus rapat oleh jaket. Malam ini memang terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.

 Biasanya sampai jam 10 malam seperti ini, taman kota ini masih ramai dengan orang-orang, baik yang sedang asyik berpacaran di sudut taman yang agak rimbun, maupun yang hanya nongkrong dan ngobrol di pinggir-pinggir taman, tempat aku biasa meletakkan gerobak sateku dan berjualan disana. Tapi malam ini, hanya beberapa orang tukang becak saja yang berkumpul di sekitar taman ini.

Sepi.. Untunglah daganganku telah laris dari jam 7 tadi aku buka. Tinggal tersisa sepuluh tusuk sate kambing saja di wadah tempat aku biasa meletakkan sate-sate yang belum matang dibakar.

“Bang Madun, sate kambingnya sepuluh tusuk ya.”, suara seseorang memanggilku. Suara yang kukenal.
Kubalikkan badanku yang sedari tadi melihat ke arah para tukang becak yang tengah asik bermain kartu di pinggir taman.

Ternyata Pak Heru, pelanggan setia sate kambingku, yang rumahnya tak jauh dari taman kota ini. Itu yang selalu dia katakan padaku, karena sampai sekarang tak pernah sekalipun aku mampir atau melihat dimana rumahnya.

“Cuma sepuluh tusuk aja ni Pak Heru? Gak kurang? Biasanya beli 30 tusuk Pak...hehe”, candaku kepadanya.

Pak Heru hanya tersenyum dan berkata
“Gak Bang. Sepuluh tusuk saja. Biasanya saya beli sebanyak itu kan karena anak dan istri saya ikut makan juga. Lha ini yang sepuluh khusus buat saya.hehe..”

“Oh begitu ya Pak Heru. Kebetulan memang sate saya tinggal tersisa sepuluh tusuk sate kambing ini.”.

“Saya siapkan dulu ya Pak.”, kataku sembari mulai menyiapkan sepuluh tusuk sate kambing yang akan kubakar. Bara api memang selalu siap membara, karena untuk berjaga setiap ada pembeli yang ingin membeli sateku ini.

10 Menit kemudian

“Ini Pak Heru satenya. Bayarnya tunai atau kredit ni.”, candaku lagi pada Pak Heru, karena setahuku Pak Heru adalah seorang petugas di bank yang mengurusi kredit. Entah apa lah itu istilahnya.

Pak Heru hanya tersenyum. Sembari menyerahkan uangnya kepadaku, ia berkata
“ Ah si abang bisa-bisa aja. Ini bang uangnya”

“Makasih ya Pak Heru. Hati-hati di jalan ya.”, kataku padanya.

Pak Heru nampaknya tak mendengar perkataanku tadi. Ia langsung saja menyalakan motornya, lalu menjalankannya menyusuri jalanan menjauhi taman kota.

Segera setelah Pak Heru pergi meninggalkan gerobakku, kubereskan alat-alat pembakaran sate dan bangku-bangku plastik tempat biasa para pelanggank u duduk. Setelah menyapu tempat aku berjualan dan mencuci piring-piring kotor yang menumpuk di ember, kubereskan gerobakku dan berjalan pulang.


***

Malam berikutnya di taman kota

“Selamat malam Bang Madun.”, seorang gadis cantik remaja tiba-tiba menyapaku.

“Iya dik. Ada apa ya dik. Mau beli sate berapa tusuk?”, tanyaku kepadanya. Pertanyaan yang memang selalu aku tanyakan kepada setiap orang yang datang ke gerobakku ini.

“Nama saya Ani Bang. Saya anaknya Pak Heru. Saya dengar ayah saya sering sekali membeli sate disini.”

“Oh, anaknya Pak Heru ya. Pasti mau beli sate buat bapaknya ya?”, tanyaku.
Rona sedih seketika muncul dari wajah remaja berusia kira-kira belasan itu. Matanya berkaca-kaca seolah menahan air mata yang datang tiba-tiba.

“Gak Bang. Saya kesini tidak untuk membeli sate untuk bapak saya. Saya justru ingin menanyakan apakah Bapak saya punya utang piutang ke Bapak, karena tiga hari yang lalu Bapak saya meninggal terkena serangan jantung. Dan saat-saat terakhir itu, dia bilang bahwa dia sedang ingin makan sate kambing Bang Madun ini.”

Aku terdiam mematung tanpa ada reaksi apapun.
Rasa takut sekaligus bingung muncul di hatiku.

“Kalau Pak Heru itu meninggal tiga hari yang lalu, berarti Pak Heru yang semalam datang itu siapa...”
Seketika bulu kudukku berdiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentarnya ya....:))

Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...