Jumat, 23 Oktober 2020

Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini "Makan yang banyak ya. Kan lagi masa pertumbuhan". Gimana, sounds familiar, right?

Biasanya ucapan-ucapan ini seringkali dilontarkan orang dengan banyak maksud. Kalau diucapkan kepada seorang anak usia sekolah dasar sampai usia SMA misalnya, mungkin ucapan ini bisa diartikan secara literal. Makan yang banyak ya artinya makanan yang dimakan akan menjadi sumber gizi bagi pertumbuhan fisik kita.

Bagaimana dengan maksud lainnya? Oh tentu saja, kalau kamu bertubuh kurus dan kecil meskipun sudah berusia 25tahun, ya ucapan ini akan akrab didengar setiap kali kalian makan bersama teman atau keluarga. Maksud ucapan itu ya mungkin karena temanmu atau keluarga masih yakin bahwa dengan makan yang sangat banyak, maka tubuhmu bisa tumbuh ke atas dan ke samping.

Tapi bicara soal masa pertumbuhan, sebenarnya sampai kapan sih kita bertumbuh?

Dari artikel yang saya baca di Klikdokter, pertumbuhan tinggi badan manusia akan berhenti sebelum usia 20 tahun. Itu kalau pertumbuhan secara fisik. Lalu bagaimana dengan "pertumbuhan" kita sebagai seorang manusia?

Menurut saya pribadi, manusia itu harus senantiasa bertumbuh. Tak peduli berapa usia kita, setiap orang harus selalu punya kemauan untuk bertumbuh.

Konteks bertumbuh ini bisa kita artikan secara fisik misalnya bagaimana seseorang "bertumbuh" dengan bertekad membentuk badannya menuju body goals. Rutin ke tempat gym dan minum aneka suplemen untuk membentuk otot-otot di tubuh. Ataupun konteks bertumbuh yang lebih luas seperti bertumbuh secara mental, pengetahuan, skills, dan network.

Masa pertumbuhan kita adalah sepanjang usia kita

Masa pertumbuhan kita adalah sampai dengan kita menutup mata dan meninggalkan dunia ini. Setiap individu bertumbuh dalam hal-hal yang bisa berbeda bisa sama, dalam kecepatan yang seringkali berbeda, dan juga melalui cara-cara yang berbeda. Pertumbuhan orang akan selalu unik. Tidak akan ada yang sama persis.

Menyadari setiap orang bertumbuh masing-masing membuat kita sadar bahwa kita tidak perlu berlama-lama insecure melihat pertumbuhan orang lain yang begitu cepat. Melihat prestasi teman kita yang di usia 20-an sudah mencapai level manager atau baru selesai kuliah S1 langsung lanjut S2 di luar negeri memang sangat bisa menjadi ladang insecurity. Namun, kesadaran dan penerimaan bahwa setiap orang tumbuh dengan cara dan kecepatan yang berbeda harusnya sedikit membantu kita mengatasi rasa anxiety ini.

Saya jadi ingat kemarin saya bertemu salah satu mantan bos saya di kantor. Dia bilang bahwa "Ben kamu tambah tinggi ya". Ya barangkali mungkin bukan tubuh saya yang tambah tinggi (karena saya sudah berusia kepala tiga), namun saya bertumbuh dengan memakai sepatu yang memiliki hak yang lebih tinggi daripada biasanya.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bagian dari pertumbuhan kalian ya.


Senin, 23 Desember 2019

Mana Yang Kau Pilih, Kuantitas atau Kualitas?


Image by Gerd Altmann from Pixabay

Ada sebuah keyakinan yang pasti banyak dipegang oleh banyak orang. "Quality over Quantity". Dalam konteks seorang penyanyi atau musisi, ini bisa diterjemahkan bahwa lebih baik membuat 1 atau 2 lagu dalam setahun dengan kualitas  yang sangat baik, daripada menciptakan 20 lagu dalam setahun dengan kualitas yang buruk atau biasa-biasa saja. Kalau istilah anak sekarang kualitasnya "B" aja. Tapi apakah pendapat ini selalu bisa diamini?

Hari ini saya menonton video wawancara Narasi Entertainment antara Duo Bujang selaku host dengan Samuel Alexander Pieter atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama panggungnya "Young Lex". Dalam wawancara tersebut, salah satu pertanyaan yang ditanyakan oleh host kira-kira seperti ini "Apakah kamu Young Lex setuju kalau dibilang bahwa kamu lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas?". Dengan santainya Young Lex bilang bahwa "Ya setuju. Karena kualitas kita diukur dari kuantitas kita. Ga ada atau hampir ga ada musisi yang suka dengan lagu pertama yang diciptainnya. Pasti loe jijik kalo loe denger lagu pertama loe".

Jumat, 09 Agustus 2019

Belajar Berkomitmen Melawan MAGER


“Eh lo kenapa ga jadi datang ke workshop-nya Bang Atta Halilintar? Keren banget tau.”

“Ah males gue. MAGER banget nih.”


MAGER.

Satu kata yang merupakan sebuah singkatan dari MAles GERak. Satu kata yang selalu bisa kamu jadikan alasan untuk tidak datang ke acara pernikahan kerabat, tidak datang menepati janji makan siang dengan teman, atau sekadar tidak datang ke acara 17 Agustusan RT di lapangan seberang rumah kamu persis.

Saya jadi ingat sebuah postingan di Instagram @millennialsshit yang berbunyi

MANUSIA BERENCANA, MAGER MENENTUKAN

Ya. Memang sebegitu menentukannya sang MAGER ini. Kamu bisa saja kehilangan kesempatan untuk ketemu calon jodoh kamu di acara pernikahan teman hanya gara-gara kamu MAGER. Kamu mungkin kehilangan potensi penghasilan ratusan juta rupiah, hanya karena kamu MAGER datang ke workshopnya Atta Halilintar yang hingga tulisan ini diterbitkan, subscriber channel Youtube-nya sudah mencapai angka 18 juta orang.

Kebiasaan males gerak sendiri sebenarnya saya idap sendiri. Di semester lalu, saya banyak sekali melewatkan workshop atau event lain di kampus yang sesungguhnya menarik dan pasti bermanfaat hanya karena saya terlalu “Males Gerak” ini. Apalagi ditunjang dengan aplikasi media sosial semacam Instagram atau Twitter yang membuat saya merasa berjalan kemana-mana hanya dengan melihat stories teman-teman saya yang sedang asik liburan atau sibuk dengan kegiatan sosialnya. Youtube dan Netflix pun turut mendukung kebiasaan males gerak ini, sehingga saya hanya berjalan turun dari ranjang hanya ketika saya kebelet pipis atau lapar.

Belajar berkomitmen itu penting sekali untuk mengalahkan rasa malas gerak ini. Jadi di semester 2 ini saya berusaha untuk memaksa diri saya untuk tidak lagi menuruti hawa males-malesan saya. Saya sadar kalau hidup saya ini diisi dengan males gerak, tidur-tiduran di kasur sambal scrolling feed Instagram, atau asik nge-tap stories orang lain, ya saya hanya membuang waktu saya.

Jadi gimana cara saya untuk bisa efektif mengalahkan rasa malas ini?


Jumat, 02 Agustus 2019

The Diderot Effect, Kepuasan Diri Sendiri dan Hidup Orang Lain


Konsep Diderot Effect saya temukan ketika membaca buku The Atomic Habit karangan James Clear. Nama The Diderot Effect sendiri diambil dari nama orang yaitu Denis Diderot, seorang filsuf terkenal asal Prancis yang hidup di abad 18.

Jadi cerita bermula ketika Diderot yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam kondisi miskin, sampai dengan segalanya berubah di tahun 1765. Ketika dia berusia 52 tahun dan anak perempuannya akan menikah, dia tak sanggup untuk membiayai pernikahan anaknya tersebut. Berita ini terdengar sampai dengan Ratu Catherine yang Agung dari Kerajaan Rusia, karena memang Diderot ini meskipun miskin namun sangat terkenal sebagai salah satu penyusun dan penulis Encyclopedie, salah satu buku ensiklopedia paling lengkap saat itu.

Ratu Catherine menawari Diderot sejumlah uang untuk membeli perpustakaan pribadi Diderot sebesar £ 1000 atau sekitar $ 50,000 USD dengan nilai tahun 2015*. Permasalahan keuangan Diderot akhirnnya terselesaikan, namun masalah berikutnya muncul.

Dengan uang sebesar itu, Diderot mulai membeli gaun berwarna merah. Diderot sangat mengagumi keindahan gaun merahnya tersebut. Disini permasalahan dimulai. Dia mulai memperhatikan barang-barang miliknya lain yang terasa tidak sepadan dengan keindahan gaun merahnya tersebut. Akhirnya Diderot mulai menggantikan barang-barang lamanya dengan barang baru yang ia beli seperti karpet, hiasan patung, meja makan, cermin, dan sofa yang terbuat dari kulit.


Merasa pernah mengalami hal seperti ini?

Tak perlu malu, karena saya pun pernah seperti ini. Ya memang tak semewah barang-barang yang dibeli oleh Diderot. Misalnya saja ketika saya membeli sepatu baru. Ketika saya pakai dengan baju baju lama saya, saya merasa baju-baju tersebut terlihat kusam dan jelek ketika dipadankan dengan sepatu saya. Akhirnya saya pun membeli baju baru agar penampilan saya sepadan. Sepatu baru dengan baju baru.

Diderot Effect ini sebenarnya ditimbulkan atas keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Di jaman internet dan social media seperti sekarang ini, Diderot Effect ini bisa memburuk dan menimpa ke setiap orang. Keterbukaan akses ini membuat setiap orang bisa melihat apa yang orang lain makan, orang lain pakai, orang lain beli, dan hal-hal lainnya. Berawal dari melihat ini, maka akan timbul keinginan untuk menjadi seperti orang lain itu. Misal teman kamu baru saja membeli tas seharga 20 juta, maka kamu pun merasa bahwa “wah kalau aku bisa punya tas yang mahal juga, pasti teman-temanku akan kagum denganku dan senang berteman denganku”.

Diderot Effect ini sebenarnya sangat berbahaya terutama terhadap pengelolaan keuangan pribadi, terutama apabila demi membeli barang-barang tersebut kalian sampai harus berhutang atau menggunakan kartu kredit. Sadar akan kemampuan keuangan kalian itu adalah kunci untuk menghindar dari jebakan Diderot Effect ini.

Sebenarnya membahagiakan diri sendiri dengan membeli barang yang membuat kita happy tidaklah salah. Tapi happy saja menurut saya pribadi tidak cukup. Setiap kali hendaknya membeli barang kita harus bertanya “apakah barang ini benar-benar kita membuat kita happy dan kita butuhkan?”. Dan satu lagi “apakah kita beli barang ini hanya untuk membuat orang lain kagum terhadap kita?”.


Referensi:

Minggu, 08 Juli 2018

Berapa Biaya Mendapatkan Beasiswa?

Banyak orang yang berkata bahwa modal untuk mendapatkan beasiswa adalah niat, semangat, fokus dan hal-hal lain yang sifatnya intangible. Semua hal tersebut memang harus dimiliki oleh seorang pejuang beasiswa. Namun di tulisan saya kali ini, saya ingin sedikit berbagi modal uang yang mungkin harus kalian siapkan ketika mulai berpikiran untuk berburu beasiswa untuk studi ke luar negeri.

1. Biaya Untuk Persyaratan Bahasa Inggris

Tidak bisa dipungkiri salah satu syarat yang pasti ada di setiap beasiswa luar negeri adalah persyaratan bahasa Inggris. Biasanya, penyelenggara beasiswa mempersyaratkan kita untuk menyampaikan bukti kemampuan bahasa Inggris. Untuk universitas atau beasiswa untuk studi ke Eropa dan Australia, syarat yang diminta biasanya berupa sertifikat IELTS terbaru, sedangkan untuk studi ke Amerika Serikat, TOEFL menjadi persyaratan yang wajib ada.

Untuk kalian yang sudah merasa jago bahasa Inggris, itu berarti kalian tinggal ikut saja tes IELTS di beberapa penyedia tes IELTS seperti IDP, British Council, atau IALF. Untuk sekali tes, kalian harus menyiapkan dana sekitar Rp 2.500.000,00 - Rp 3.000.000,00. Sebagai informasi, bulan Maret lalu ketika saya ikut tes IELTS, biaya yang harus dibayarkan adalah Rp 2.850.000,00. . 

Buat kalian yang bahasa Inggrisnya ga jago-jago banget, itu artinya kalian perlu persiapan yang lebih panjang. Belajar bahasa Inggris bisa kalian lakukan secara otodidak atau ikut les di lembaga bahasa. Saya sendiri dulu pertama kali tes IELTS di tahun 2014, dan sebelum tes tersebut saya mengikuti les persiapan IELTS di IALF Kuningan Jakarta. Biaya les saya waktu itu sekitar Rp 4.300.000,00. Mungkin di tempat les lain biayanya bisa lebih murah atau lebih mahal. Untuk kalian yang sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris, itu artinya kalian harus berusaha lebih keras dan rajin daripada orang yang sudah memiliki kemampuan dasar bahasa Inggris. 

Berikut beberapa tautan website lembaga bahasa yang bisa kalian kunjungi:

2. Biaya Penerjemahan Dokumen

Untuk mendaftar beasiswa luar negeri, kita juga harus mempersiapkan terjemahan bahasa Inggris dari setiap dokumen biasanya dipersyaratkan seperti ijazah dan transkrip S1. Penerjemahan dokumen tersebut tidak bisa dilakukan sendiri karena harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah (sworn translator). Berapa biaya yang harus disiapkan untuk penerjemahan dokumen ini?

Saya pernah menerjemahkan di Edlink + Connex Jakarta (sebuah konsultan studi luar negeri) dengan biaya sekitar Rp 75.000 per dokumen. Saya pun pernah menerjemahkan ke penerjemah tersumpah hasil dari googling dengan biaya kurang lebih sama dengan Edlink + Connex Jakarta. 

Oh iya, sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa penerjemah tersumpah, coba cek ijazah atau transkrip kalian apakah sudah bilingual atau belum. Jika sudah, kan lumayan menghemat karena tidak perlu diterjemahkan lagi. Selain itu, pastikan juga kalian memilih sworn translator yang terpercaya. Buat yang bingung cari dimana, mungkin bisa dicek tautan berikut ini.
 3. Biaya Legalisir Dokumen

Di dalam salah satu persyaratan beasiswa Australian Awards, kita diminta untuk menyampaikan salinan legalisir dari ijazah dan transkrip S1. Untuk saya yang tinggal di Bekasi, sedangkan kampus S1 saya ada di Purwokerto, ini berarti saya harus mengeluarkan biaya untuk transportasi dari Bekasi ke Purwokerto dan sebaliknya. Untungnya, keluarga saya memang asli Purwokerto sehingga saya bisa minta tolong saudara saya. Di UNSOED sendiri, tarif resmi biaya legalisir ijazah dan transkrip adalah Rp 2.000,- per lembar. Buat yang berasal dari kampus selain UNSOED, kalian bisa cek di website kampus kalian masing-masing. 

4. Biaya Pembuatan Paspor

Untuk pergi studi ke luar negeri, paspor menjadi hal wajib yang kalian harus punya. Memang sih paspor ini tidak menjadi persyaratan pendaftaran beasiswa. Namun ini sudah seperti hal yang tidak tertulis tapi kalian harus siapkan sendiri.

Biaya  pembuatan paspor sampai dengan tulisan ini terbit adalah Rp 300.000,00. Biaya ini tidak termasuk dengan biaya fotocopy berkas dan dokumen dan biaya transportasi dari rumah kalian ke kantor imigrasi. 

5. Biaya Tes Kesehatan

Salah satu persyaratan beasiswa LPDP adalah kita harus menyampaikan surat keterangan sehat dan bebas narkoba. Persyaratan ini tentunya menjadi beban biaya bagi kita. Pada saat tahun kemarin saya mendaftar LPDP, saya tes kesehatan dan tes narkoba di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Total biaya yang harus saya keluarkan sekitar 1jtan. Pengalaman saya tes kesehatan ini bisa dicek disini
Itu tadi biaya-biaya minimal yang harus kalian perhitungkan dan persiapkan ketika berpikir untuk mendaftar beasiswa luar negeri. Nanti kalau ada biaya lain yang saya ingat dulu pernah keluarkan, nanti saya update tulisan ini.



Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...