Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Desember 2019

Mana Yang Kau Pilih, Kuantitas atau Kualitas?


Image by Gerd Altmann from Pixabay

Ada sebuah keyakinan yang pasti banyak dipegang oleh banyak orang. "Quality over Quantity". Dalam konteks seorang penyanyi atau musisi, ini bisa diterjemahkan bahwa lebih baik membuat 1 atau 2 lagu dalam setahun dengan kualitas  yang sangat baik, daripada menciptakan 20 lagu dalam setahun dengan kualitas yang buruk atau biasa-biasa saja. Kalau istilah anak sekarang kualitasnya "B" aja. Tapi apakah pendapat ini selalu bisa diamini?

Hari ini saya menonton video wawancara Narasi Entertainment antara Duo Bujang selaku host dengan Samuel Alexander Pieter atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama panggungnya "Young Lex". Dalam wawancara tersebut, salah satu pertanyaan yang ditanyakan oleh host kira-kira seperti ini "Apakah kamu Young Lex setuju kalau dibilang bahwa kamu lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas?". Dengan santainya Young Lex bilang bahwa "Ya setuju. Karena kualitas kita diukur dari kuantitas kita. Ga ada atau hampir ga ada musisi yang suka dengan lagu pertama yang diciptainnya. Pasti loe jijik kalo loe denger lagu pertama loe".

Jumat, 09 Agustus 2019

Belajar Berkomitmen Melawan MAGER


“Eh lo kenapa ga jadi datang ke workshop-nya Bang Atta Halilintar? Keren banget tau.”

“Ah males gue. MAGER banget nih.”


MAGER.

Satu kata yang merupakan sebuah singkatan dari MAles GERak. Satu kata yang selalu bisa kamu jadikan alasan untuk tidak datang ke acara pernikahan kerabat, tidak datang menepati janji makan siang dengan teman, atau sekadar tidak datang ke acara 17 Agustusan RT di lapangan seberang rumah kamu persis.

Saya jadi ingat sebuah postingan di Instagram @millennialsshit yang berbunyi

MANUSIA BERENCANA, MAGER MENENTUKAN

Ya. Memang sebegitu menentukannya sang MAGER ini. Kamu bisa saja kehilangan kesempatan untuk ketemu calon jodoh kamu di acara pernikahan teman hanya gara-gara kamu MAGER. Kamu mungkin kehilangan potensi penghasilan ratusan juta rupiah, hanya karena kamu MAGER datang ke workshopnya Atta Halilintar yang hingga tulisan ini diterbitkan, subscriber channel Youtube-nya sudah mencapai angka 18 juta orang.

Kebiasaan males gerak sendiri sebenarnya saya idap sendiri. Di semester lalu, saya banyak sekali melewatkan workshop atau event lain di kampus yang sesungguhnya menarik dan pasti bermanfaat hanya karena saya terlalu “Males Gerak” ini. Apalagi ditunjang dengan aplikasi media sosial semacam Instagram atau Twitter yang membuat saya merasa berjalan kemana-mana hanya dengan melihat stories teman-teman saya yang sedang asik liburan atau sibuk dengan kegiatan sosialnya. Youtube dan Netflix pun turut mendukung kebiasaan males gerak ini, sehingga saya hanya berjalan turun dari ranjang hanya ketika saya kebelet pipis atau lapar.

Belajar berkomitmen itu penting sekali untuk mengalahkan rasa malas gerak ini. Jadi di semester 2 ini saya berusaha untuk memaksa diri saya untuk tidak lagi menuruti hawa males-malesan saya. Saya sadar kalau hidup saya ini diisi dengan males gerak, tidur-tiduran di kasur sambal scrolling feed Instagram, atau asik nge-tap stories orang lain, ya saya hanya membuang waktu saya.

Jadi gimana cara saya untuk bisa efektif mengalahkan rasa malas ini?


Jumat, 02 Agustus 2019

The Diderot Effect, Kepuasan Diri Sendiri dan Hidup Orang Lain


Konsep Diderot Effect saya temukan ketika membaca buku The Atomic Habit karangan James Clear. Nama The Diderot Effect sendiri diambil dari nama orang yaitu Denis Diderot, seorang filsuf terkenal asal Prancis yang hidup di abad 18.

Jadi cerita bermula ketika Diderot yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam kondisi miskin, sampai dengan segalanya berubah di tahun 1765. Ketika dia berusia 52 tahun dan anak perempuannya akan menikah, dia tak sanggup untuk membiayai pernikahan anaknya tersebut. Berita ini terdengar sampai dengan Ratu Catherine yang Agung dari Kerajaan Rusia, karena memang Diderot ini meskipun miskin namun sangat terkenal sebagai salah satu penyusun dan penulis Encyclopedie, salah satu buku ensiklopedia paling lengkap saat itu.

Ratu Catherine menawari Diderot sejumlah uang untuk membeli perpustakaan pribadi Diderot sebesar £ 1000 atau sekitar $ 50,000 USD dengan nilai tahun 2015*. Permasalahan keuangan Diderot akhirnnya terselesaikan, namun masalah berikutnya muncul.

Dengan uang sebesar itu, Diderot mulai membeli gaun berwarna merah. Diderot sangat mengagumi keindahan gaun merahnya tersebut. Disini permasalahan dimulai. Dia mulai memperhatikan barang-barang miliknya lain yang terasa tidak sepadan dengan keindahan gaun merahnya tersebut. Akhirnya Diderot mulai menggantikan barang-barang lamanya dengan barang baru yang ia beli seperti karpet, hiasan patung, meja makan, cermin, dan sofa yang terbuat dari kulit.


Merasa pernah mengalami hal seperti ini?

Tak perlu malu, karena saya pun pernah seperti ini. Ya memang tak semewah barang-barang yang dibeli oleh Diderot. Misalnya saja ketika saya membeli sepatu baru. Ketika saya pakai dengan baju baju lama saya, saya merasa baju-baju tersebut terlihat kusam dan jelek ketika dipadankan dengan sepatu saya. Akhirnya saya pun membeli baju baru agar penampilan saya sepadan. Sepatu baru dengan baju baru.

Diderot Effect ini sebenarnya ditimbulkan atas keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Di jaman internet dan social media seperti sekarang ini, Diderot Effect ini bisa memburuk dan menimpa ke setiap orang. Keterbukaan akses ini membuat setiap orang bisa melihat apa yang orang lain makan, orang lain pakai, orang lain beli, dan hal-hal lainnya. Berawal dari melihat ini, maka akan timbul keinginan untuk menjadi seperti orang lain itu. Misal teman kamu baru saja membeli tas seharga 20 juta, maka kamu pun merasa bahwa “wah kalau aku bisa punya tas yang mahal juga, pasti teman-temanku akan kagum denganku dan senang berteman denganku”.

Diderot Effect ini sebenarnya sangat berbahaya terutama terhadap pengelolaan keuangan pribadi, terutama apabila demi membeli barang-barang tersebut kalian sampai harus berhutang atau menggunakan kartu kredit. Sadar akan kemampuan keuangan kalian itu adalah kunci untuk menghindar dari jebakan Diderot Effect ini.

Sebenarnya membahagiakan diri sendiri dengan membeli barang yang membuat kita happy tidaklah salah. Tapi happy saja menurut saya pribadi tidak cukup. Setiap kali hendaknya membeli barang kita harus bertanya “apakah barang ini benar-benar kita membuat kita happy dan kita butuhkan?”. Dan satu lagi “apakah kita beli barang ini hanya untuk membuat orang lain kagum terhadap kita?”.


Referensi:

Sabtu, 12 November 2016

Bandar Udara Ramah Wisatawan

Membangun pariwisata di sebuah kota atau daerah tak pernah lepas dari yang namanya transportasi. Bandar udara sebagai salah satu dari prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam memajukan pariwisata Indonesia, terutama sebagai pintu gerbang bagi pelancong yang berasal dari luar negeri.

Beberapa hari yang lalu saya dan teman saya mendapat dinas dari kantor untuk menghadiri sebuah Focus Group Discussion di kota Malang. Saya pernah sebelumnya ke kota Malang, namun ini kali pertama saya menginjakkan di Bandar Udara Abdurahman Saleh Malang. Kesan pertama saya akan bandar udara ini sungguh menyenangkan. Tenang, bersih dan rapi menjadi hal yang saya lihat di bandar udara ini. Apalagi ditambah dengan pemandangan sawah hijau yang menghampar di sekitar bandar udara ini. 

Sebagai seorang yang terbiasa hidup di Jakarta dan terbiasa menggunakan aplikasi taksi online, maka begitu sampai di bandar udara ini, saya lun segera membuka aplikasi Grab, Uber dan Gojek. Dari ketiga aplikasi tersebut, ternyata hanya aplikasi Grab yang menampilkan adanya taksi online di sekitar sini dan setelah mencoba memesan, ternyata saya tak kunjung juga mendapatkan kendaraan dari aplikasi Grab ini. 

Saya dan teman saya putuskan untuk berjalan keluar dari bandar udara untuk mencari taksi yang menggunakan argo. Persis pada saat kami sedang dalam perjalanan keluar bandar udara, ada sebuah taksi hijau yang feeling saya pasti menggunakan argo. Saya lupa warnanya, yang jelas taksi tersebut berhenti sekitar 10 meter dari tempat saya berdiri ketika melambaikan tangan menyetop taksi tersebut. Ketika saya sedang berjalan menuju taksi tersebut, dari arah kanan ada teriakan orang sambil berlari dengan nada marah. Orang tersebut lari mendekati taksi tersebut dan mengusir taksi tersebut untuk pergi dari kami. Saya kaget karena kejadian tersebut tidak saya sangka. Ternyata orang yang mengusir taksi tadi adalah salah satu pengemudi taksi dari koperasi bandar udara tersebut. Dia meminta kami untuk naik taksi yang dia kemudikan dengan tarif 80.000 rupiah (dan tak bisa ditawar lagi) untuk mengantarkan kami menuju Hotel Savana yang berdasarkan Google Maps hanya berjarak sekitar 10 km. Padahal ketika kami naik taksi berargo dari hotel ke bandar udara, kami hanya cukup membayar sekitar 40.000 rupiah.

Bandar Udara Ramah Wisatawan

Menurut saya, bandar udara memiliki peran penting dalam membangun gambaran positif akan pariwisata di suatu daerah. Terutama apabila bandar udara tersebut memiliki rute penerbangan internasional. Wisatawan luar negeri pasti akan lebih terkesan berwisata di Indonesia ketika mereka yang baru saja terbang dari kota asalnya disambut dengan keramahan dan kemudahan di bandar udara.

Salah satu faktor yang mendukung bandar udara menjadi ramah wisatawan tentunya adalah soal konektifitas bandar udara dengan tempat wisata atau pusat kota di daerah tersebut. Hal ini penting sekali mengingat rata-rata bandar udara berada di jarak yang jauh dari pusat kota, berbeda dengan stasiun kereta api atau terminal bus yang biasanya terletak di tengah kota.

Wisatawan seharusnya diberikan beberapa alternatif alat transportasi sehingga mereka dapat membandingkan dan menyesuaikan dengan "ukuran kantong" mereka. Pengalaman saya di Bandar Udara Incheon Korea Selatan, bandar udara ini memiliki beberapa alternatif alat transportasi menuju ke kota Seoul. Kita bisa memilih naik kereta, bis, ataupun taksi, tergantung kemampuan kantong kita.Hal ini berbeda sekali dengan pengalaman saya di bandar udara Malang yang telah saya ceritakan di atas. Saya hanya diberikan pilihan naik taksi tanpa argo yang dikelola oleh koperasi bandar udara tersebut.

Apa akibatnya jika hanya ada satu pilihan alat transportasi di sebuah bandar udara?
Menurut saya, dengan hanya ada satu pilihan alat transportasi, maka kita menjadi tergantung pada alat transportasi tersebut. Akibatnya, pihak penyedia alat transportasi tersebut bisa sekehendak hati mengatur harga. Mau tidak mau, kita sebagai pendatang di tempat tersebut naik alat transportasi tersebut dengan harga yang mengikuti apa yang ditawarkan pihak penyedia jasa tersebut.

Dan apa keadaan ini terjadi di bandar udara Malang saja?
Sayang sekali, hal ini tidak hanya ada di bandar udara Malang saja. Hampir sebagian besar bandar udara di Indonesia masih mengalami hal serupa. Hanya beberapa bandar udara besar seperti Soekarno Hatta dan Kualanamu yang memberi kita beberapa pilihan alat transportasi untuk menuju pusat kota, seperti taksi berargo, kereta api (di Kualanamu), dan bis DAMRI. Mungkin di beberapa kota besar, adanya aplikasi taksi online seperti UBER, GRAB dan GOJEK memberi kita beberapa alternatif tambahan, tapi hampir sebagian besar bandar udara di Indonesia belum bisa memberikan keramahan terhadap wisatawan dari sisi transportasi dari bandar udara menuju pusat kota.
 

Sabtu, 30 November 2013

Mari Berkomentar. Don't Be A Silent Reader.

Banyak orang yang tak suka dikomentari oleh orang lain. Seringkali ketika kita mengerjakan sesuatu, dan kita dikomentari oleh orang lain, bahkan teman sendiri, maka kita jadi tidak nyaman dengan apa yang kita kerjakan tersebut. Tak terkecuali dengan diri saya sendiri. Bahkan ketika saya dikomentari oleh orang lain, saya malah lebih sering sakit hati dan berujung hati bersungut-sungut, lalu tanpa sadar hati kecil saya berbicara "hihhh. ngapain si pake komentar segala. Kayak dirinya bener aja".

Pernah merasa seperti itu juga?

Tapi kali ini saya tidak ingin menulis tentang berkomentar dalam konteks tersebut. Yang ingin saya tulis adalah keheranan saya terhadap minimnya komentar dari pembaca blog saya ini.

Jadi begini. Awal keheranan saya ini adalah karena setelah berbulan-bulan saya memantau statistik pada blog saya ini, saya mendapatkan data bahwa blog saya ini rata-rata diakses dan dibaca oleh 100 orang setiap hari. Puji Tuhan memang masih ada yang mau membaca blog saya ini, dan hits counter saya dari tahun 2009 s/d waktu saya menulis tulisan ini adalah 69.867. Namun yang sedikit aneh adalah hingga sekarang, baru ada 271 komentar saja yang ada pada blog saya.

Adakah yang salah?

Mungkin awalnya memang dari saya sendiri. Ketika blogwalking, saya seringkali menemukan artikel yang menarik yang ditulis oleh blogger lain, namun meskipun artikel tersebut menarik, selesai membaca saya tak memberikan komentar  pada artikel tersebut. Ada beberapa alasan yang menjadikan saya malas untuk memberikan komentar, tapi yang sering terjadi adalah karena kolom komentar yang ada di blog tersebut menggunakan captcha atau harus mengisi kode-kode verifikasi. Ya semacam itulah.

Jadi kesimpulannya apa?
Ya di tulisan ini sih saya cuma ingin berjanji untuk berusaha memberikan komentar pada setiap artikel pada blog orang lain yang saya baca. Syukur-syukur, blogger yang tulisannya saya beri komentar, lalu gantian membaca blog saya lalu kemudian memberikan komentar pada blog saya.

Jadi, mari budayakan berkomentar di blog orang lain.
Mariiiiii....:)
 

Senin, 18 November 2013

Bule Native Speaker Bahasa Inggris Gak Bisa Bahasa Indonesia

Pasti begitu membaca judul tulisan saya ini, kalian masing-masing pasti bergumam dalam hati
 "Ya iya lah bule gak bisa bahasa Indonesia. Tapi mereka kan jago bahasa Inggrisnya".
 Dan kemudian sisi pintar saya ikut-ikutan ngomel dalam hati 
"Lagian kamu ben. Ngapain beginian juga ditulis".

Jadi begini ceritanya. Tadi siang saya tiba-tiba diajak teman saya untuk ikut ke dalam workshop seputar Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership) di bidang bandar udara. Nah, ternyata, workshop tersebut menghadirkan pembicara dari otoritas penerbangan dari New Zealand. Saat saya  ke workshop tersebut, workshop telah berlangsung separuh jalan karena ternyata acara telah dimulai dari pagi dan saya baru diajak teman saya tepat setelah waktu makan siang berakhir.

Di awal sesi siang ini, saya merasa tak ada yang aneh sampai dengan tiba waktunya salah satu dari tiga bule New Zealand itu berbicara. 

"Selamat siang Bapak Ibu. Siang ini .....bla....bla...bla."

Yap, si bule tersebut berbicara bahasa Indonesia di depan orang-orang Indonesia. Wow, keren sekali menurut saya tersebut, apalagi di antara tiga bule, hanya dia yang bisa berbahasa Indonesia lancar, tentunya dengan logat New Zealandnya.

Pembahasan dan diskusi antar peserta workshop (yang semuanya adalah orang Indonesia) selanjutnya berlangsung cukup menarik dan dilakukan dengan bahasa Inggris. Ya demi mempermudah diskusi terutama dengan dua bule yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Gak Enaknya Jadi Bule Native Speaker Bahasa Inggris

Banyak orang yang berpikir bahwa menjadi bule yang native speakernya Bahasa Inggris itu pasti enak. Ya enaknya karena mereka tak perlu repot-repot belajar khusus atau kursus berbiaya mahal untuk bisa mahir berbahasa Inggris. Dan karena bahasa Inggris itu adalah bahasa internasional, maka mereka pun jadi lebih mudah ketika mereka harus bepergian ke luar negeri dan tak perlu repot untuk belajar bahasa lain.

Trus apa dong ga enaknya Ben?

Ga enaknya ya ada di kalimat terakhir paragraf di atas.

"Dan karena bahasa Inggris itu adalah bahasa internasional, maka mereka pun jadi lebih mudah ketika mereka harus bepergian ke luar negeri dan tak perlu repot untuk belajar bahasa lain. "

Nah, inilah yang menurut saya sisi gak enaknya jadi native speaker Bahasa Inggris. Karena merasa bahwa setiap orang di dunia (harus) bisa berbahasa Inggris, maka rata-rata para bule ini menjadi malas  dan tidak merasa penting untuk belajar bahasa lain (kecuali memang orang-orang bule yang pekerjaannya menuntut ia harus bisa bahasa lain selain Inggris). Coba bandingkan dengan kita sebagai orang Indonesia. Karena terkendala bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional bukan merupakan "bahasa ibu" kita, maka mau tidak mau kita jadi harus belajar bahasa Inggris agar bisa berbicara dengan para bule.

Jadi, jika diukur secara kuantitas, jika orang Indonesia yang "bahasa ibunya" adalah bahasa Indonesia, dan dia mampu berbahasa Inggris, maka dia menguasai dua bahasa. Sedangkan seorang bule, yang "bahasa ibu"-nya adalah bahasa Inggris, karena merasa tidak penting untuk belajar bahasa lain, maka dia hanya menguasai bahasa Inggris. Untuk orang Indonesia, dua bahasa tersebut belum termasuk bahasa daerah yang dia kuasai lho. :)

Selamat berbangga menjadi orang Indonesia.

Minggu, 17 November 2013

Diplomasi Pacaran Ala Amerika Serikat

Privasi
“pri•va•si n kebebasan; keleluasaan pribadi: orang dapat menyewa kamar tanpa kehilangan –“
Sumber: kbbi.web.id

Sumber gambar: http://ictwatch.com/internetsehat/wp-content/uploads/2012/10/privasi.jpg

 Akhir-akhir ini dunia internasional tengah heboh dengan berita bahwa Amerika Serikat menyadap saluran telekomunikasi, baik telepon maupun email, dari beberapa pemimpin negara, yang tak lain adalah negara-negara yang selama ini menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat . Tak pelak hal tersebut memicu kemarahan dari beberapa pemimpin dunia, di antaranya Presiden Brazil Dilma Rousseff yang langsung membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Amerika Serikat di bulan Oktober lalu (dan entah kenapa SBY yang juga menjadi salah satu pemimpin negara yang disadap malah tak bereaksi apapun…).

Mengapa kasus penyadapan seperti ini (sudah seharusnya) memicu kemarahan para pemimpin dunia?

Saya memang bukan pengamat intelijen ataupun militer, politik dan hal-hal yang berat lainnya. Namun saya mencoba untuk membayangkan konteks penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap para pemimpin dunia, menjadi dalam sebuah konteks hubungan pacaran.

Bagaimana perasaan kamu seandainya kamu masih sedang dalam tahap pacaran, namun pacar kamu ternyata setipe dengan Amerika Serikat. Dengan dalih ingin hubungan kalian lancar dan bahagia, pacar kamu mencoba “memata-matai” kamu. Mungkin caranya tidak akan secanggih National Security Agent milik Amerika Serikat, yang menggunakan teknologi dan alat-alat yang canggih. Hal yang biasa dilakukan oleh pacar tipe Amerika Serikat yang “insecure” itu biasanya adalah mereka rajin mengecek handphone kamu, meminta semua username dan password akun social media yang kamu punya, dan setiap kamu pergi kemana pun tanpa dia kamu harus wajib setor foto dimana kamu sedang berada.

Pacaran menurut saya adalah masa dimana kita belajar untuk saling percaya terhadap pasangan kita, sebelum kita memasuki masa pernikahan. Dan menurut saya lagi, hubungan yang saling percaya itu harusnya justru membuat kita mampu memberi kebebasan bagi pasangan kita, termasuk di dalamnya adalah tetap member dia privasi terhadap kehidupan pribadinya. Saya pribadi termasuk cowok yang belajar untuk memberi kepercayaan terhadap pasangan saya dengan cara tidak membuka handphone pasangan saya tanpa izinnya atau mengawasi setiap “status” Facebook, atau kicauannya di twitter.

Kenapa saya melakukan itu terhadap pasangan saya?

Karena saya sendiri pasti akan merasa risih dan merasa privasi saya terganggu seandainya pacar saya mengawasi setiap status FB dan kicauan twitter saya, atau mengecek setiap SMS atau email yang masuk ke handphone saya. Bagi saya, seandainya pasangan saya melakukannya, itu artinya dia tidak percaya sepenuhnya terhadap diri saya. Dan menurut saya, melakukan tindakan “memata-matai” seperti itu sudah sangat berlebihan.

Nah, kembali ke judul tulisan ini.
Kalau kamu saja marah dan tidak suka jika pacar kamu “memata-matai” privasi kamu, apalagi dengan para pemimpin negara yang aktivitas telekomunikasinya disadap oleh Amerika Serikat. “Privasi” yang kamu miliki sebagai pribadi mungkin hanya berpengaruh terhadap dirimu saja, namun bagi seorang pemimpin negara, “privasi” yang dia miliki itu berpengaruh bagi negara yang dipimpinnya. Bisa saja “privasi” itu berupa kebijakan militer, politik, ekonomi, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang masih bersifat rahasia dan penting.  Perilaku penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat itu bagi saya artinya Amerika Serikat tidak percaya terhadap negara-negara sahabatnya. 

Jadi, seandainya pacar kamu juga memata-matai dan menyadap aktivitas telekomunikasi kamu seperti halnya Amerika Serikat, apa yang kamu lakukan? Protes atau diam saja?

Sabtu, 20 Juli 2013

Struk Belanja Nan Boros Kertas

Pernahkah kamu belanja di toko swalayan semacam Hypermart, Carrefour, Lotte Mart dan sejenisnya, maupun toko-toko semacam Alfamart maupun Indomaret?

Setiap kali kita belanja di toko semacam yang saya sebutkan di atas, pasti kita akan mendapatkan struk belanja kan. Nah, pernahkah kalian menyadari bahwa beberapa toko cenderung sangat boros menggunakan kertas untuk mencetak struk belanja di toko mereka.

Gambar 1: Struk Belanja di Indomaret untuk 2 produk


 Gambar 2: Struk belanja di Hypermart untuk 3 produk

Perhatikan contoh 2 struk belanja yang saya tampilkan di atas. Gambar 1 adalah struk belanja yang saya dapatkan ketika saya berbelanja dua buah produk di Indomaret. Lalu sekarang perhatikan dan bandingkan dengan Gambar 2, yaitu struk belanja ketika saya belanja 3 buah produk di Hypermart.

Sekarang bandingkan, saja panjang struk belanja pada Gambar 1 dan Gambar 2. Coba pikir bahwa perbedaan satu produk saja antara produk yang dibeli sesuai Gambar 1 dan Gambar 2, tapi menghasilkan perbedaan yang cukup besar. Perbedaan antara panjang dan lebar kertas yang digunakan oleh Hypermart dengan Indomaret, dimana menurut saya, Hypermart terlalu boros dalam menggunakan kertas.

Seandainya saya jadi salah satu petinggi di Hypermart, saya akan mengusulkan agar desain atau bentuk struk belanja di Hypermart agar diperbaiki menjadi lebih ringkas dan pendek daripada yang sekarang ada. Mungkin ukuran font  yang diperkecil, ataupun pengurangan spasi antara satu kata dengan kata di bawahnya.

Ada dua keuntungan yang menurut saya bisa didapat oleh Hypermart seandainya mereka melakukan hal yang sudah disebutkan tadi. Keuntungan pertama adalah bahwa pengurangan penggunaan kertas akan membawa efek yang bagus dalam lingkungan. Semakin sedikit kertas yang dipakai, semakin sedikit pula pohon yang ditebang untuk dijadikan kertas kan. :)

Dan, keuntungan kedua adalah dengan semakin sedikit kertas yang dipakai, itu artinya Hypermart bisa irit dalam hal pembelian kertas untuk struk belanja. Dan artinya, penghematan bagi Hypermart itu sendiri, sehingga dana yang tersisa bisa dialokasikan untuk hal positif lainnya.

Fenomena struk belanja di Hypermart nan boros kertas itu tadi baru satu contoh yang saya temukan. Mungkin kalau saya hobi belanja di toko maupun mall, saya bisa lebih banyak membandingkan antara struk belanja satu toko dengan toko lainnya. Hehe..Sayangnya tidak. 

Jadi, sudah siap memperhatikan struk belanja yang kamu dapatkan ketika berbelanja di toko?
Mari berburu struk belanja..... :)

Senin, 24 Juni 2013

Harga BBM Naik dan Isi Celengan Turun


sumber gambar: www.uang-kuno.com

Pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan tarif baru BBM premium, dari semula Rp.4.500 per liter, menjadi Rp. 6.000 per liter. Sejak kenaikan pada tanggal 22 Juni 2013 pukul 00.00 tersebut, saya sebagai seorang pengguna setia transportasi Kopaja dan Transjakarta pastinya sudah memperkirakan akan adanya kenaikan tarif angkutan umum, terutama kedua jenis angkutan umum tersebut.

Dugaan saya separuh salah dan separuh benar, karena ternyata di sore hari, saat saya menaiki Kopaja dari daerah rumah saya di bilangan Antasari Jakarta Selatan menuju Blok M  tanggal 22 Juni, tarif Kopaja sudah naik dari Rp. 2000 menjadi Rp. 2.500. Untung saja, saat saya menggunakan Transjakarta pada tanggal 23 Juni 2013, tarif Transjakarta masih tetap Rp. 3.500. Untunglah...:)

Itu kan tadi dampak kenaikan harga BBM terhadap kenaikan tarif angkutan umum.
Lalu sekarang, apa dong hubungan harga BBM yang naik dengan isi celengan yang turun? Emang ada kaitannya ya?

Ya ada dong.
Jadi gini. Biasanya saya yang pengguna Transjakarta ini, membayar tiket dengan uang lebih. Jadi dengan harga tiket Rp. 3.500, biasanya saya membayar dengan dua lembar uang dua ribuan, ataupun selembar uang sepuluh ribuan. Pokoknya, saya selalu mendapatkan pecahan uang logam 500-an. Dan biasanya pula, uang logam 500 itulah yang saya sisihkan untuk dimasukkan ke dalam celengan.

Tapi sekarang...
Dengan kenaikan tarif Kopaja dari Rp.2.000 ke Rp.2.500, maka otomatis membuat saya harus menyiapkan selalu uang logam 500. Karena, seringkali yang terjadi di Kopaja adalah saat saya membayar dengan uang Rp. 3.000, maka si kondektur atau kenek tidak akan memberi uang kembalian kepada saya. Alasannya ya dia tidak punya uang kembalian 500 perak.

Nah, sudah paham kan apa yang ingin saya maksud dengan judul tulisan ini.
Jadi, uang kembalian 500 perak dari Transjakarta, yang dahulu biasanya saya masukkan ke dalam celengan, sekarang saya pakai untuk membayar ongkos Kopaja yang sebesar Rp. 2.500 itu. Alhasil, lama-kelamaan, isi celengan saya jadi gak nambah-nambah. Hehe..

Itu sih menurutku salah satu dampak tidak langsung dari harga BBM yang naik. 
Apa kamu mengalami hal yang sama seperti saya?
:)


Minggu, 30 September 2012

Gangnam Style, Invasi Baru Korea Selatan


Korea Selatan seakan tak pernah berhenti menginvasi dunia hiburan dunia. Setelah sederet nama seperti Girl Generation, Super Junior, Big Bang, dan boyband atau girlband asal Korea yang sukses dengan musik K-POP, kini muncul lagi satu tren yang muncul, yaitu Gangnam Style.

Ya, akhir-akhir ini, Gangnam Style ini menjadi semacam tren yang mendunia. Tak hanya ke menyebar ke Asia saja, tapi tren ini sudah menyebar sampai ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Gangnam Style sendiri adalah tarian yang pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang rapper asal Korea bernama Psy. Dengan gaya tari yang unik, yaitu seperti gaya orang memacu kuda, Gangnam Style ini dalam sekejap menjadi populer di kalangan masyarakat dunia.

Melihat fenomena Gangnam Style sendiri, saya memiliki dua hal yang ada di pikiran saya. Yang pertama adalah bagaimana fenomena Gangnam Style ini bisa begitu saja meledak. Menurut pendapat saya, cepatnya Gangnam Style ini meledak di pasaran adalah karena masyarakat sendiri mulai sedikit merasa jenuh dengan penampilan boyband dan girlband K-POP yang seakan tak ada bedanya antara satu grup dengan grup lain. Kehadiran Psy dengan Gangnam Style itu menjadi semacam oase di tengah-tengah gurun “K-POP” yang dipenuhi pria tampan dan wanita cantik. Psy hadir memberikan “warna” yang berbeda di dunia hiburan Korea Selatan dan dunia.

Namun, setelah hal pertama tersebut, ada hal kedua yang terpikir dalam pikiran saya terhadap Gangnam Style, yaitu bagaimana Gangnam Style sendiri sebenarnya adalah salah satu upaya diferensiasi dari dunia hiburan Korea Selatan untuk menginvasi dunia hiburan di seluruh dunia. Gangnam Style muncul sebagai salah satu “produk jualan baru” yang ditawarkan oleh Korea Selatan, setelah sebelumnya produk “K-POP” mereka laris manis di pasaran penikmat hiburan di seluruh dunia.

Mungkin setelah K-POP dan Gangnam Style, Korea Selatan akan terus melakukan diversifikasi dunia hiburan mereka dengan film komedi atau horror Korsel, atau K-Rock. Kita tunggu saja serangan Korea Selatan berikutnya.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Berapa Kali Dalam Sehari Kita Melanggar Aturan

Judul tulisan saya ini bukan tentang hitung-hitungan atau matematika, meskipun saya mengawali sedikit kegalauan yang tertuang dalam tulisan ini dengan kata “BERAPA KALI”.

Sudah beberapa hari ini memang saya terpikir untuk menulis tentang pelanggaran aturan. Saya sendiri ketika ditanya “berapa kali dalam sehari seorang ROBERTUS BENNY MURDHANI melanggar aturan?” pasti saya sendiri akan malu menjawabnya. Karena sudah pasti dalam sehari, saya ini baik secara tidak sadar maupun sadar (lebih banyak secara sadar sebenarnya..) melanggar peraturan. Mari kita hitung berapa pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari-hari saya.

Dari pagi, ketika saya berangkat ke kantor. Saya ini sering sekali datang terlambat ke kantor. Jam kerja kantor saya yang seharusnya pukul 07.30, tapi saya seringkali datang lebih dari jam tersebut. Selanjutnya di sore hari selesai pulang kantor, saya seringkali melanggar peraturan lalu lintas dengan menyeberang di jalur penyeberangan di depan Museum Nasional pada saat lampu tanda pejalan kaki masih merah. Saya menyeberang hanya karena jalanan sepi, padahal seharusnya saya menunggu lampu tanda pejalan kaki berwarna hijau. Selanjutnya, pelanggaran lalu lintas juga kerap kali saya lakukan ketika saya sampai di daerah blok M. Lagi-lagi saya seringkali menyeberang ketika lampu lalu lintas untuk kendaraan masih berwarna hijau. Kali ini alasan saya bukan karena sepi, tapi karena jalanan macet sehingga mobil dan motor berhenti.

Lihatlah, betapa banyak pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari. Pelanggaran di atas itu baru contoh pelanggaran yang saya akui secara sadar dalam melanggar. Sedangkan pasti lebih banyak pelanggaran yang secara tidak sadar saya lakukan.

Sebenarnya apa sih yang sebenarnya membuat kita (terutama saya) seringkali melakukan pelanggaran aturan?

Jujur saya akui lagi bahwa kenapa saya seringkali melanggar adalah karena saya melihat banyak orang juga yang melanggar, dan mereka tidak dihukum apapun. Dan, karena pelanggaran itu dilakukan beramai-ramai dan berulang-ulang, pelanggaran aturan tersebut menjadi hal yang dianggap biasa oleh masyarakat. Pelanggaran aturan tersebut menjadi semacam budaya tak tertulis yang tumbuh di masyarakat. Dan parahnya adalah budaya itu menjadi turun menurun ke generasi berikutnya, ketika generasi berikutnya tersebut terbiasa melihat orang tuanya melanggar peraturan.

Sebenarnya jika berbicara mengenai pelanggaran aturan, hal yang sering dikeluhkan dan disalahkan orang-orang pasti adalah kurang tegasnya penegakan hukum dan aturan di Indonesia. Jujur saya mengakui, hal tersebut memang sangat benar. Seringkali hukum dan aturan tersebut hanya sebatas pajangan saja tanpa bisa diterapkan secara menyeluruh, termasuk pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelanggar aturan tersebut.

“Yang membuat aturan kan pemerintah, berarti pemerintah dong yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran aturan.”

Pasti pernyataan itu yang ada di pikiran orang-orang bila berbicara siapa yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran aturan. Saya sendiri kurang sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, kita warga masyarakat pun memiliki peranan yang sangat besar terhadap tegaknya suatu aturan di dalam masyarakat.

Sekarang pertanyaan, muncul lagi di pikiran saya. “Jika memang pemerintah tegas menegakkan suatu aturan, apakah kita sudah siap menerima sanksi bila ternyata kita, baik sengaja atau tidak sengaja, melanggar peraturan tersebut?”

Saya jadi ingat kejadian ketika saya sedang naik bis Transjakarta dalam perjalanan pulang ke rumah. Ketika bis Transjakarta tersebut berhenti di shelter Karet, seorang bapak dan ibu naik ke dalam bis. Sang bapak langsung memilih duduk di bagian depan bis beserta istrinya. Petugas bis pun mengingatkan bapak tersebut untuk pindah ke belakang, karena bagian depan bis merupakan bagian khusus untuk wanita. Dengan menggerutu, sang bapak dan istri pindah ke bagian belakang yang merupakan bagian bis untuk umum (wanita dan pria). Setelah duduk, bapak tersebut menggerutu “Masa suami dan istri gak boleh duduk bareng. Yang bikin aturan harusnya kan juga ngerti dengan keadaan.”.

Kejadian tersebutlah yang membuat saya menanyakan pertanyaan saya yang ada di atas. Apakah kita benar-benar sudah siap bila aturan benar-benar ditegakkan.
Lewat tulisan ini, saya sebenarnya ingin mengajak kita (termasuk saya sendiri) untuk saling membantu dan bekerjasama dengan pemerintah dalam penegakkan aturan di masyarakat. Saya ingin mulai sekarang kita (mulai dari saya sendiri juga) untuk mengikuti dan mematuhi setiap aturan yang ada di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Mungkin memang susah untuk mengubah apa yang sudah membudaya dalam masyarakat dan diri kita. Tapi jika tidak kita mulai, selamanya budaya yang buruk tersebut tidak akan berubah.

Menutup tulisan saya ini, saya ingin mengutip sebuah tweet dari musisi @AddieMS, yang menyentil pikiran saya. Bunyi tweet-nya begini kira-kira:
 “Indonesia memang bangsa yang toleran terhadap pelanggaran/penyimpangan aturan, tapi seringkali tidak toleran terhadap perbedaan”.

Silahkan direnungkan di hati dan pikiran kita masing-masing.

Sekian..

Senin, 25 Juni 2012

Kebersihan Kereta Berawal dari Alat Pelubang Tiket

Karena kebersihan kereta bisa dimulai dari hal-hal yang kecil.

Jadi mulanya begini. Kemarin saya pulang ke Purwokerto dengan menggunakan jasa angkutan kereta api. Seperti biasa, setiap penumpang akan diperiksa oleh kondektur untuk memastikan bahwa penumpang yang naik kereta adalah penumpang yang telah memiliki tiket sesuai dengan kereta yang dinaikinya.Nah, saat kondektur memeriksa tiket penumpang͵ dia akan melubangi tiket penumpang dengan menggunakan semacam alat pelubang. Awalnya semua berjalan tanpa ada pikiran aneh di otak saya.Tapi segera setelah melihat ke lantai tempat kondektur tadi melubangi tiket penumpang͵ saya melihat kertas2 sisa hasil alat pelubang tiket penumpang tsb. Dan lantai yang tadinya bersih menjadi terkotori oleh sisa kertas tersebut.

Yang saya maksud dengan kertas hasil alat pelubang tiket

Seharusnya͵ slogan bersih itu sehat yang tertempel di dalam kabin kereta juga harus menjadi tanggung jawab PT.Kereta Api Indonesia. Dan hal-hal kecil seperti alat pelubang kertas tersebut bisa diperhatikan guna menjaga kebersihan kabin kereta. Karena menurut saya sayang saja jika lantai gerbong yang memang sejak berangkat dijaga agar bersih, terpaksa diceceri oleh potongan kertas hasil proses pelubangan tiket yang dilakukan kondektur.

Stiker slogan Jagalah Kebersihan yang tertempel di kabin kereta
Solusi paling mudah menurut saya adalah perlu memodifikasi alat pelubang kertas tersebut sehingga alat pelubang kertas tersebut dapat memiliki semacam tempat penampung untuk kertas2 hasil melubangi tiket penumpang. Dengan begitu kertas hasil proses melubangi kertas tersebut tidak jatuh berserakan di lantai kabin kereta. Bukankah itu cara sederhana untuk menjaga kebersihan di dalam kabin kereta.

Contoh alat pelubang kertas yang memiliki tempat penampung kertas sisa

Selasa, 17 April 2012

Menyambut Pembentukan Ikatan Alumni Sastra Inggris Unsoed


16 April 2012 lalu saya mendapat sebuah email dari salah satu dosen semasa kuliah saya. Isi emailnya adalah mengenai undangan untuk menghadiri temu alumni Sastra Inggris Unsoed sekaligus pembentukan Ikatan Alumni Sastra Inggris Unsoed.

Apa reaksi pertama yang muncul di pikiran saya ketika mendapat undangan tersebut?
Senang dan bahagia.


  Memangnya kenapa kok saya senang dan bahagia dengan adanya pembentukan Ikatan Alumni tersebut?
Jujur sudah lama saya memimpikan agar Sastra Inggris Unsoed ini memiliki sebuah Ikatan Alumni, seperti halnya dengan fakultas maupun jurusan lain di Unsoed maupun di universitas lainnya. Sebenarnya, keinginan untuk membentuk sebuah paguyuban atau semacam organisasi sebagai wadah para alumni sepanjang pengamatan saya selama ini telah lama ada di dalam diri masing-masing alumni. Setidaknya, beberapa orang teman saya termasuk saya sendiri telah berusaha untuk memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menjalin silaturahmi dengan sesama alumni lain. Sayangnya, beberapa akun Facebook untuk temu alumni masih belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kemajuan bersama, baik untuk alumni maupun almamater.

Manfaat dari sebuah ikatan alumni sebenarnya sungguh sangatlah banyak. Yang pertama, bagi kampus sendiri, ikatan alumni adalah salah satu komponen penilaian yang digunakan dalam proses penilaian akreditasi dari sebuah kampus.

Mengapa bisa sebuah ikatan alumni dapat menjadi komponen penilaian akreditasi kampus?
Menurut saya sih karena dari ikatan alumni tersebut, BAN PT sebagai pihak yang menilai dan memberi akreditasi dapat menilai tingkat kelulusan mahasiswa/i, prospek kerja dari para alumni, tingkat penyerapan dunia kerja terhadap alumni, relevansi pekerjaan alumni terhadap ilmu yang diajarkan di kampus, dll.

Apa lagi manfaatnya Ikatan Alumni?
Bagi para almamater pastinya dengan adanya ikatan alumni, mereka dapat lebih mudah untuk mencari informasi terutama untuk mereka yang ingin segera lulus.  Para almamater yang akan segera lulus pastinya masih buta sekali dengan dunia kerja. Mungkin nantinya berawal dari Ikatan Alumni ini dapat membuat semacam pelatihan seputar dunia kerja, seperti cara membuat CV, mencari lowongan kerja di internet, teknik wawancara, dsb. Yang penting juga untuk dibagi adalah bagaimana sebenarnya dunia kerja itu sesungguhnya, karena bagi saya sendiri dunia kerja dan dunia kuliah itu benar-benar berbeda. Dalam dunia kuliah, ketika kita berbuat salah masih ada toleransi terhadap kesalahan yang kite perbuat. Namun ketika kita berbuat salah dalam dunia kerja, pasti ada sanksi terhadap kesalahan yang kita perbuat, sesuai dengan kebijakan perusahaan atau tempat bekerja kita masing-masing.

Ikatan alumni juga nantinya dapat membantu kesulitan-kesulitan apa yang sedang dihadapi para almamater maupun kampus kita ini. Saya sendiri pernah mencoba untuk mengumpulkan para alumni yang ada di Jakarta guna mengumpulkan dana yang nantinya akan digunakan untuk menyumbang perpustakaan di kampus, khususnya guna melengkapi referensi buku di sana. Tapi ternyata respon yang saya dapat tidak terlalu bagus, sehingga akhirnya rencana saya itupun kandas di tengah jalan.

Kalau untuk almamater sudah, terus apa dong manfaat ikatan alumni untuk alumni itu sendiri?
Menurut saya sih, manfaatnya adalah dengan ikatan alumni ini, kita bisa dapat lebih mudah untuk membantu almamater kita, Misal, ada alumni yang tinggal di luar negeri dan ingin membantu almamater, nah dengan adanya ikatan alumni, dia dapat menyalurkan bantuannya melalui ikatan alumni. Dengan ikatan alumni, selain mempererat silaturahmi, kita juga lebih mudah untuk saling bertukar informasi untuk hal-hal yang bermanfaat. Kemajuan teknologi sendiri nantinya dapat dijadikan sebagai media untuk saling bertukar informasi tersebut.

Akhir kata, saya berharap pembentukan ikatan alumni Sastra Inggris Unsoed tidak hanya bersifat formalitas saja dan hanya digunakan untuk komponen akreditasi saja, namun bagaimana agar ikatan alumni tersebut menjadi salah satu komponen pendukung kemajuan dari kampus Sastra Inggris Unsoed.Mimpi saya semoga suatu saat Ikatan Alumni Sastra Inggris Unsoed ini dapat memberikan beasiswa kepada para almamater Sastra Inggris Unsoed yang berasal dari keluarga kurang mampu. Indah sekali bukan kedengarannya....hehe


Rabu, 14 Desember 2011

Bijak Berinternet, Bijak Bersikap

Pernah gak sih kalian baca tweet dari teman kalian di twitter, lalu kemudian kalian me-reply twitter teman kalian dalam hitungan detik. Atau mungkin kalian membaca status Facebook teman atau sahabat kalian tentang hubungan cintanya, dan kalian ikut memberi comment terhadap status Facebook teman atau sahabat kalian tersebut.

Saya yakin 100 persen semua orang yang punya akun Facebook atau Twitter pernah melakukan hal tersebut. Bukan cuma Facebook atau Twitter saja, kebanyakan pengguna internet pasti pernah memberi komentar, pendapat, saran, atau kritik terhadap suatu artikel, foto, video, musik, atau beragam konten yang ada di jagat dunia maya ini.

Perkembangan internet yang sangat pesat dengan beragam konten di dalamnya membuat orang dapat dengan mudah mencari informasi apapun di internet. Apalagi dengan menjamurnya smartphone di kalangan masyarakat, internet semakin mudah diakses dimanapun dan kapanpun (asal masih ada sinyal dari providernya ya). Hal itu berarti kita dengan mudah memberi komentar, saran, pendapat atau kritik terhadap konten-konten yang beredar di dunia maya, termasuk di dalamnya status Facebook, tweet, tulisan, foto atau apapun itu.

Lalu?
Pertanyaan mengusik pikiran saya. Kalau saran, pendapat atau kritik diberikan dengan menggunakan bahasa sopan dan tidak menyinggung SARA sih, hal tersebut menjadi oke-oke saja. Tapi bagaimana kalau justru komentar, saran, pendapat, atau kritik yang diberikan justru menimbulkan perselisihan, pertengkaran, menyakiti hati, atau menyinggung SARA.

Mengingat kata-kata Pandji Pragiwaksono pada saat dia mengisi session StandUp Comedy di acara ONOFFID 2011 alias Pesta Blogger 2011

"Sebenarnya tidak ada etika berinternet. Etika atau cara bersikap kita dalam kehidupan nyata itulah sebenarnya yang menjadi cara kita bersikap dalam dunia maya."

Di akhir StandUpnya, Pandji menyimpulkan demikian:

"Jangan jadikan dunia maya dijadikan sarana untuk menyela, mengejek atau menghina. Kalau memang benar-benar berani untuk menyela,mengejek atau menghina, lakukan hal tersebut di dunia nyata. Jangan berlindung dibalik dunia maya. "

Menurut saya, kata-kata Pandji tersebut sih sangatlah benar. Seringkali dalam dunia maya, orang berani untuk mencela, atau menghina orang lain. Tapi ketika mereka bertemu dengan orangnya langsung di depan mata, mereka hanya diam dan tidak berani berbicara apapun. Cara kita bersikap dalam dunia maya seharusnya sejalan dengan cara kita bersikap kita dalam dunia maya. Jangan jadikan dunia maya sebagai tameng pelindung bagi kita untuk bisa berbicara  dan menulis seenaknya perut kita, nge-tweet yang menyinggung SARA, atau bikin status Facebook yang menyakiti orang lain.

Bijak Berinternet, Bijak Bersikap....

update tanggal 15 Desember 2011:
Tulisan saya ini jadi HL di kompasiana.com, kolom Teknologi....
Hore....
bukti ----> http://www.flickr.com/photos/robertusbennymurdhani/6515159873/in/photostream

Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...