Sabtu, 25 Agustus 2012

Berapa Kali Dalam Sehari Kita Melanggar Aturan

Judul tulisan saya ini bukan tentang hitung-hitungan atau matematika, meskipun saya mengawali sedikit kegalauan yang tertuang dalam tulisan ini dengan kata “BERAPA KALI”.

Sudah beberapa hari ini memang saya terpikir untuk menulis tentang pelanggaran aturan. Saya sendiri ketika ditanya “berapa kali dalam sehari seorang ROBERTUS BENNY MURDHANI melanggar aturan?” pasti saya sendiri akan malu menjawabnya. Karena sudah pasti dalam sehari, saya ini baik secara tidak sadar maupun sadar (lebih banyak secara sadar sebenarnya..) melanggar peraturan. Mari kita hitung berapa pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari-hari saya.

Dari pagi, ketika saya berangkat ke kantor. Saya ini sering sekali datang terlambat ke kantor. Jam kerja kantor saya yang seharusnya pukul 07.30, tapi saya seringkali datang lebih dari jam tersebut. Selanjutnya di sore hari selesai pulang kantor, saya seringkali melanggar peraturan lalu lintas dengan menyeberang di jalur penyeberangan di depan Museum Nasional pada saat lampu tanda pejalan kaki masih merah. Saya menyeberang hanya karena jalanan sepi, padahal seharusnya saya menunggu lampu tanda pejalan kaki berwarna hijau. Selanjutnya, pelanggaran lalu lintas juga kerap kali saya lakukan ketika saya sampai di daerah blok M. Lagi-lagi saya seringkali menyeberang ketika lampu lalu lintas untuk kendaraan masih berwarna hijau. Kali ini alasan saya bukan karena sepi, tapi karena jalanan macet sehingga mobil dan motor berhenti.

Lihatlah, betapa banyak pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari. Pelanggaran di atas itu baru contoh pelanggaran yang saya akui secara sadar dalam melanggar. Sedangkan pasti lebih banyak pelanggaran yang secara tidak sadar saya lakukan.

Sebenarnya apa sih yang sebenarnya membuat kita (terutama saya) seringkali melakukan pelanggaran aturan?

Jujur saya akui lagi bahwa kenapa saya seringkali melanggar adalah karena saya melihat banyak orang juga yang melanggar, dan mereka tidak dihukum apapun. Dan, karena pelanggaran itu dilakukan beramai-ramai dan berulang-ulang, pelanggaran aturan tersebut menjadi hal yang dianggap biasa oleh masyarakat. Pelanggaran aturan tersebut menjadi semacam budaya tak tertulis yang tumbuh di masyarakat. Dan parahnya adalah budaya itu menjadi turun menurun ke generasi berikutnya, ketika generasi berikutnya tersebut terbiasa melihat orang tuanya melanggar peraturan.

Sebenarnya jika berbicara mengenai pelanggaran aturan, hal yang sering dikeluhkan dan disalahkan orang-orang pasti adalah kurang tegasnya penegakan hukum dan aturan di Indonesia. Jujur saya mengakui, hal tersebut memang sangat benar. Seringkali hukum dan aturan tersebut hanya sebatas pajangan saja tanpa bisa diterapkan secara menyeluruh, termasuk pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelanggar aturan tersebut.

“Yang membuat aturan kan pemerintah, berarti pemerintah dong yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran aturan.”

Pasti pernyataan itu yang ada di pikiran orang-orang bila berbicara siapa yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran aturan. Saya sendiri kurang sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, kita warga masyarakat pun memiliki peranan yang sangat besar terhadap tegaknya suatu aturan di dalam masyarakat.

Sekarang pertanyaan, muncul lagi di pikiran saya. “Jika memang pemerintah tegas menegakkan suatu aturan, apakah kita sudah siap menerima sanksi bila ternyata kita, baik sengaja atau tidak sengaja, melanggar peraturan tersebut?”

Saya jadi ingat kejadian ketika saya sedang naik bis Transjakarta dalam perjalanan pulang ke rumah. Ketika bis Transjakarta tersebut berhenti di shelter Karet, seorang bapak dan ibu naik ke dalam bis. Sang bapak langsung memilih duduk di bagian depan bis beserta istrinya. Petugas bis pun mengingatkan bapak tersebut untuk pindah ke belakang, karena bagian depan bis merupakan bagian khusus untuk wanita. Dengan menggerutu, sang bapak dan istri pindah ke bagian belakang yang merupakan bagian bis untuk umum (wanita dan pria). Setelah duduk, bapak tersebut menggerutu “Masa suami dan istri gak boleh duduk bareng. Yang bikin aturan harusnya kan juga ngerti dengan keadaan.”.

Kejadian tersebutlah yang membuat saya menanyakan pertanyaan saya yang ada di atas. Apakah kita benar-benar sudah siap bila aturan benar-benar ditegakkan.
Lewat tulisan ini, saya sebenarnya ingin mengajak kita (termasuk saya sendiri) untuk saling membantu dan bekerjasama dengan pemerintah dalam penegakkan aturan di masyarakat. Saya ingin mulai sekarang kita (mulai dari saya sendiri juga) untuk mengikuti dan mematuhi setiap aturan yang ada di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Mungkin memang susah untuk mengubah apa yang sudah membudaya dalam masyarakat dan diri kita. Tapi jika tidak kita mulai, selamanya budaya yang buruk tersebut tidak akan berubah.

Menutup tulisan saya ini, saya ingin mengutip sebuah tweet dari musisi @AddieMS, yang menyentil pikiran saya. Bunyi tweet-nya begini kira-kira:
 “Indonesia memang bangsa yang toleran terhadap pelanggaran/penyimpangan aturan, tapi seringkali tidak toleran terhadap perbedaan”.

Silahkan direnungkan di hati dan pikiran kita masing-masing.

Sekian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentarnya ya....:))

Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...