Selasa, 13 Maret 2012

Gaun Merah

Pagi ini, kulakukan kegiatan yang sudah hampir setahun ini aku lakukan setiap hari. Ya, sebagai seorang buruh cuci di kost-kostan milik Pak Abdul ini, pekerjaanku setiap pagi hari adalah berjalan dari satu pintu kamar ke pintu kamar, mengambil baju kotor milik para penghuni kost yang berjumlah 20 orang, dan membawanya ke kamar mandi belakang untuk segera kucuci. Siang hari, kujemur pakaian-pakaian itu berjejer di tali jemuran yang dipasang di atas bangunan kostan Pak Abdul ini. Sore harinya, pakaian-pakaian tersebut , baik yang sudah kering maupun masih lembab, kusetrika dan kulipat rapi agar pagi harinya pakaian-pakaian tersebut sudah tertumpuk rapi di depan pintu kamar masing-masing  penghuni kostan.

Aku sudah berada di depan pintu kamar no. 16. Penghuni kamar ini adalah Mba Siska, seorang perempuan mungkin berumur sekitar 18 tahunan, seumuran dengan anakku satu-satunya Yuni. Sepertinya Mba Siska ini adalah anak orang kaya. Hal itu aku simpulkan dari baju-baju yang ia miliki, yang setiap hari ia letakkan di depan pintu kamarnya untuk kucuci. Tak terkecuali hari ini.
Saat kuangkat sehelai kaos dari depan pintu kamar Mba Siska, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Melongoklah dari dalam kamar sebuah wajah perempuan ayu yang sedari tadi melintas di pikirku, Mba Siska.

“Bik, ini satu lagi bik.”, kata Mba Siska kepadaku seraya menyerahkan sepotong pakaian kepadaku. Sebuah gaun merah tanpa lengan.

“Bik, tolong khusus yang ini nyucinya hati-hati ya Bik. Karena gaun ini bahannya gampang melar, jadi tolong yang ati-ati ya Bik nyucinya.”, ucapnya lagi menambahkan.

“Iya Mba Siska. Saya akan hati-hati nyuci baju ini.”, kataku menjawabnya sembari menganggukan kepala.

“Sabtu ini udah bisa kering kan Bik? Soalnya lusa mau saya pakai buat ke pesta” tanyanya.
Kupikir sejenak.

“Sabtu kan. Itu artinya masih 4 hari lagi. Semoga saja hujan tidak turun nanti siang.”
“Bisa Mba. Saya janji Sabtu sudah tertumpuk rapi di depan kamar ini Mba.”, jawabku meyakinkannya.

“Oke Bik. Saya masuk kamar lagi ya.”, kata Mba Siska kepadaku. Segera dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Aku pun kembali sendiri di depan pintu kamarnya. Kuteruskan lagi pekerjaanku mengambil potong demi potong pakaian yang diletakkan di ember yang ada di depan tiap pintu kamar.

Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang ada di belakang kost-kostan ini.

****
Kukucek perlahan gaun merah milik Mba Siska. Benar-benar perlahan, karena aku takut gaun ini menjadi rusak atau melar. Memang bahan gaun ini terasa lebih lembut dan gampang melar.

“Harga gaun ini pasti mahal. Mungkin sama dengan gajiku sebulan disini yang cuma empat ratus ribu.”

Sengaja kupisahkan gaun merah itu dari cucianku lainnya. Kuletakkan ke dalam ember tersendiri, terpisah dari pakaian kotor lainnya yang kurendam dalam baskom warna hitam. Pokoknya aku benar-benar ingin menjaga agar pakaian itu tidak kusut, tidak melar dan tidak rusak. Gaun itu istimewa bagiku.

Andai saja anakku bisa mengenakan gaun seperti ini di hari ulang tahunnya besok, pasti dia akan senang sekali”
“Tapi mana mungkin aku bisa membelikannya...”
Rasanya aku ini tak pantas disebut ibu yang baik, yang setiap anaknya ulang tahun tak pernah sekalipun memberi hadiah”

Perlahan, air mata mengalir turun dari mataku.

******
Sambil menyeterika pakaian yang telah dicuci emak siang tadi, Yuni bersenandung lirih. Takut membangunkan emak yang terbaring di bilik sebelah. Emak lagi tidak enak badan, demam. Tidak biasa-biasanya emak begitu, sepertinya emak lagi banyak pikiran.

Ia selalu terhibur kala menyeterika pakaian-pakaian itu. moment yang sangat dinikmatinya. Ah beruntungnya mereka bisa mengenakan pakain-pakaian bagus ini pikir Yuni. Pakaian sekeranjang besar itu sudah hampir selesai, saat matanya tertumbuk pada sepotong gaun merah.

Perlahan diangkatnya gaun itu, seukuran dengan tubuhnya. Hmm indahnya. Tiba-tiba terlintas dipikirannya untuk sekedar mencoba, sepertinya pas.

Yuni tersenyum –senyum sendiri melihat bayangannya di cermin. Oh cantiknya. Gaun itu melekat sempurna di tubuh rampingnya, seolah memang dijahit sesuai ukurannya. Yuni membayangkan ia mengenakan gaun itu besok. Pasti semua orang akan terkagum-kagum melihatnya.

“ Yuni, apa yang kamu lakukan”

Suara emak membuyarkan lamunan Yuni. Entah sejak kapan emak berdiri di ambang pintu.

“ Cantik ya mak?” tanyanya

Emak tak kuasa menahan desakan air yang menggenangi retinanya. Hatinya sendu.

“ Ayo cepat buka, nanti rusak” perintah emak tergesa
Yuni segera menuruti omongan emak. Susah payah ia meraih risleting di belakang gaun. Dengan cepat ditariknya turun.

Krekk….

Ada hening menakutkan yang tercipta bersamaan dengan terlepasnya gaun itu dari tubuh Yuni.

NB: Tulisan ini adalah tulisan saya (@rbennymurdhani) dan Windi Teguh. 
Baca blognya Windi Teguh disini

4 komentar:

  1. bacanya kok tegang ya? ikut merasakan ketakutan si emak rasanya. takut gaunnya rusak. XD well done!
    ngomong" nama anaknya Murni atau Yuni?

    BalasHapus
  2. @Wenny Wardila:

    Makasih Unye udah berkunjung membaca.
    Haha...Aku nulis Murni, Windi nulis Yuni..Ok aku koreksi...

    BalasHapus
  3. Jiahaha, gw ga teliti. Asal nyomot nama orang aja.

    BalasHapus
  4. @windi teguh:

    Kalo orang tua ga teliti itu dianggap kewajaran kok wind..
    Hehehe

    *kaburrrrr...

    BalasHapus

Jangan lupa komentarnya ya....:))

Masa Pertumbuhan Kita

Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...