Aku terbangun dan beranjak dari tempat tidurku saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku.
Tak lama setelahnya, sosok Ibuku muncul.
Sesaat Ibuku hanya terdiam menatapku dari luar kamar, lalu melangkah masuk ke dalam dan duduk di ranjangku. Kutatap matanya. Matanya berbinar-binar memancarkan kebahagiaan.
Tanpa kata-kata, dia memasangkan sehelai kain hitam menutupi kedua mataku, lalu menggandeng tanganku. Aku mengerti maksudnya. Ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahunku ini, dan ia ingin membawaku ke tempat dimana ia meletakkan hadiahnya itu.
Kakiku terus melangkah seturut tangan Ibu yang sedari tadi menggenggamku.
Tiba-tiba, Ibu berhenti melangkah. Terdengar suara seperti sesuatu ditekan.
Mengalunlah suara itu:
"Selamat ulang tahun kami ucapkan...Selamat panjang umur kita kan doakan
Selamat sejahtera sehat sentosa
Selamat panjang umur dan bahagia...."
Lagu selamat ulang tahun itu memasuki ruang dengarku dan membuatku bahagia bukan main.
Perlahan, kain hitam penutup mataku dibuka oleh ibuku.
Senyum mengembang di wajah ibuku begitu ia melihatku.
Di depan sana, tergeletak sebuah kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka 17 tahun menyala diatasnya. Sebuah bingkisan berwarna pink terbungkus rapi berada di sampingnya.
Ibu menggandeng tanganku untuk mendekat kepada kue itu. Selembar kartu ucapan ulang tahun, dia berikan kepadaku. Kubaca tulisan yang ada di kartu itu:
"Selamat ulang tahun kamu Nak.Semoga panjang umur dan sehat selalu ya.
Semoga kamu jadi anak yang bisa berguna bagi nusa dan bangsa.
Kado ini dari ayah. Ayah sedang dinas keluar kota. Dia berpesan kepada Ibu untuk memberikan hadiah ini untuk kamu.
Kami menyayangimu nak,
Ayah dan Ibu"
Air mataku tak lagi terbendung, dan mengalir lembut di pipiku.
Kupeluk dan kudekap tubuh ibuku.
Selesai memeluknya, Ibu memberi kode untuk meniup lilin kue ulang tahunku.
Sejenak kupejamkan mataku. Aku ingin berdoa
"Tuhan terima kasih karena Engkau masih memberiku umur hingga saat ini.
Berkati Ayah dan Ibuku Tuhan. Meski mulut mereka tak bisa mengatakan sayang kepadaku, tapi setiap tindakan mereka lebih dari perkataan dan ucapan sayang.
Aku sayang mereka Tuhan."
Kubuka mataku dan kutatap mata Ibuku sejenak.
Kuarahkan kembali pandanganku pada kue ulang tahunku.
Dan...
Hufftttt...
"Amin Tuhan.."
Tampilkan postingan dengan label FFHore. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFHore. Tampilkan semua postingan
Minggu, 01 April 2012
Rabu, 21 Maret 2012
Payung Ungu Amela
Hujan masih dengan lebatnya mengguyur kota Jakarta. Sedikit memberi kesejukan di tengah padatnya ibukota.
Terminal Blok M
sore ini terasa lebih lenggang. Tak terlihat orang-orang yang biasanya
berseliweran di sekitar terminal ini. Semua orang seakan bersembunyi dari hujan
yang turun deras, jatuh dari langit di luar sana. Beberapa orang berdiri
disini, bersamaku, di pintu keluar Blok M Square ini. Meneduh sambil sesekali
merapatkan jaket mencoba menahan angin yang berhembus dengan dinginnya.
“Payungnya Om.Dua ribu
saja Om..”, suara anak kecil perempuan itu memecah lamunanku.
Kutatap sosok anak
kecil dengan payung ungunya berdiri di depanku. Mulutnya tak henti menawarkan
jasa ojek payungnya kepada orang-orang yang sedang meneduh dari hujan
sepertiku.
Kupanggil anak
kecil itu
“Dek...sini
payungnya...”
Bibirnya tersenyum
dengan kedua matanya menatapku riang. Badannya mendekat padaku sambil
menyerahkan sebuah payung ungu yang sedang ia pakai sedari tadi. Kuterima
payung itu dari tangan mungilnya, yang kutaksir berusia sekitar 10 tahun.
“Kamu gak punya
payung lainnya?”
Kepalanya
menggeleng pelan. Kulihat seluruh bajunya sudah basah dari tadi.
“Yaudah sini sama
Om. Daripada kamu ujan-ujanan terus besok sakit.”
“Gak papa Om. Aku
udah biasa kok Om..”
“Kalau gitu Om gak
mau sewa payung kamu ini. Kamu mau kayak gitu?”
Anak kecil itu
terdiam sesaaat. Sepertinya ia terpikir akan kata-kataku barusan.
“Ya deh Om...”
tukasnya singkat.
Kami pun kembali
berjalan menuju Melawai, tempat aku biasa menunggu Metro Mini 74 menuju rumahku
di daerah Tanah Kusir.
Hujan semakin lebat
menghujam ke tanah.
“Siapa namamu dik?”
tanyaku spontan kepadanya.
Kulihat tangannya
ia lipat di depan badannya yang mulai menggigil kedinginan.
“Amela, Om.”
“Kamu kelas berapa
Amela?”
Kepalanya
menggeleng. “Saya udah gak sekolah lagi Om. Saya berhenti sekolah setahun yang
lalu karena ga ada biaya lagi. Saya kerja buat makan dan bantu-bantu orang tua
Om”
“Trus selain ngojek
payung, kamu ngapain sehari-harinya Mel?”
“Kadang saya ngamen,
atau kalau gak, saya ngumpulin gelas atau botol bekas air mineral buat saya
jual Om.”
“Apa aja Om, yang
penting bisa buat saya makan.”
Hatiku langsung
tersentuh mendengar kata-kata Amela, gadis kecil yang di usia sekecil ini sudah
harus mencari nafkah demi sepiring nasi untuk ia bertahan hidup. Memang aku
sering mendengar berita bahwa banyak sekali anak kecil yang harus putus sekolah
dan akhirnya harus menjadi pengamen, pengemis, maupun pemulung hanya untuk
menyambung hidup. Namun, baru kali ini aku bertemu dan bahkan berbicara
langsung dengan seorang anak yang kini berada di sampingku, Amela.
“Kusir...kebayoran...taman
puring....Ayo naik bang..”
Tanpa terasa aku
telah sampai di tempat aku biasa menunggu Metro Mini 74. Asap knalpot yang
menyembur di tengah-tengah hujan membuat nafasku sedikit sesak.
Kurogoh saku
celanaku, dan kukeluarkan uang lima puluh ribuan.
Selanjutnya
kuulurkan tanganku kepada Amela dan kuserahkan uang itu kepadanya
“Mel, ini bayaran
buat sewa payungnya.”, kataku kepadanya.
Tangannya seperti
menolak uang yang kuberikan.
“Tapi Om...Ini
terlalu banyak Om. Saya minta dua ribu saja Om.”
Kutatap matanya kecilnya
dalam-dalam.
“Sudah gak apa-apa.
Yang dua ribu untuk bayaran kamu, sisanya untuk kamu belikan payung lagi ya Mel.
Jadi kalau kamu sewain payung ke orang, kamu masih punya payung untuk kamu
pakai sendiri”
Keraguan masih
tampak dari wajah Amela. Mungkin aku ini dianggapnya main-main atau hanya orang
aneh yang berbaik hati demi maksud tertentu.
“Sudah Mel.
Ini...terima saja”
Kumasukkan paksa uang
kertas lima puluh ribu itu ke dalam kantong celana Amela.
Segera setelah itu,
aku berlari ke pohon di seberang jalan. Meninggalkannya di dekat lampu merah di
sisi jalan lainnya.
“Om...”
Suara kecil Amela
memanggilku dari kejauhan.
Kuarahkan pandanganku
ke arahnya.
“Terima kasih ya
Om...”, teriaknya lagi sembari melambaikan tangan.
Kukembangkan
senyuman di bibirku dan kubalas lambaian tangannya.
“Iya
Mel. Semoga uang itu bisa sedikit meringankan bebanmu ya..”, kataku dalam
hati.
*****
Dua hari berlalu
Hujan seperti
biasanya kembali mengguyur Jakarta sore ini. Dan seperti biasanya, aku dan beberapa
orang lain, berdiri di pintu keluar Blok M Square, menunggu hujan sore ini
sedikit mereda. Ya, tempat ini memang menjadi tempat menunggu bagi orang-orang
yang pulang kerja namun tertahan untuk pulang karena hujan tanpa henti turun di
luar sana.
Kurogoh ponsel di
kantong celanaku. Tujuh pesan singkat alias SMS yang masuk dan belum terbaca tertera
di layar ponselku. Kubuka satu persatu pesan singkat yang masuk.
Tiba-tiba, saat
akan kubuka SMS yang terakhir, suara yang kukenal terdengar di pendengaranku.
“Suara Amela...ya..Itu
suara Amela..”, ucapku pada diriku sendiri.
Kusapukan
pandanganku ke arah depan, kanan dan kiri. Mataku menangkap sosok yang kucari.
Seorang anak kecil dengan
sebuah payung ungu tertutup di genggaman tangan kirinya, dan sebuah payung ungu
terbuka di tangan kanannya. Berdiri sekitar 5 meter dari tempatku berdiri.
“Om......”,
panggilnya untuk seseorang, yang aku yakin aku.
Sebuah senyuman
manis mengembang di bibirnya.
Amela dengan dua
payungnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Masa Pertumbuhan Kita
Kalian pasti pernah menerima ucapan dari teman atau saudara kalian dengan bunyi kira-kira seperti ini " Makan yang banyak ya. Kan lagi ...
-
Manusia seringkali mempunyai banyak ide atau rencana dalam otaknya, tapi seberapa banyak ide atau rencana tersebut yang kita perjuangkan su...
-
Bagi kalian yang sedang mengurus persyaratan LPDP terutama untuk beasiswa Magister ke luar negeri, salah satu syarat yang harus diurus adal...