sumber foto; resepmasakan.biz |
Angin malam berhembus menerpa tubuhku yang terbungkus
rapat oleh jaket. Malam ini memang terasa lebih dingin daripada malam-malam
sebelumnya.
Biasanya sampai
jam 10 malam seperti ini, taman kota ini masih ramai dengan orang-orang, baik
yang sedang asyik berpacaran di sudut taman yang agak rimbun, maupun yang hanya
nongkrong dan ngobrol di pinggir-pinggir taman, tempat aku biasa meletakkan
gerobak sateku dan berjualan disana. Tapi malam ini, hanya beberapa orang tukang
becak saja yang berkumpul di sekitar taman ini.
Sepi.. Untunglah daganganku telah laris dari jam 7 tadi
aku buka. Tinggal tersisa sepuluh tusuk sate kambing saja di wadah tempat aku
biasa meletakkan sate-sate yang belum matang dibakar.
“Bang Madun, sate kambingnya sepuluh tusuk ya.”, suara
seseorang memanggilku. Suara yang kukenal.
Kubalikkan badanku yang sedari tadi melihat ke arah para
tukang becak yang tengah asik bermain kartu di pinggir taman.
Ternyata Pak Heru, pelanggan setia sate kambingku, yang
rumahnya tak jauh dari taman kota ini. Itu yang selalu dia katakan padaku,
karena sampai sekarang tak pernah sekalipun aku mampir atau melihat dimana
rumahnya.
“Cuma sepuluh tusuk aja ni Pak Heru? Gak kurang? Biasanya
beli 30 tusuk Pak...hehe”, candaku kepadanya.
Pak Heru hanya tersenyum dan berkata
“Gak Bang. Sepuluh tusuk saja. Biasanya saya beli
sebanyak itu kan karena anak dan istri saya ikut makan juga. Lha ini yang
sepuluh khusus buat saya.hehe..”
“Oh begitu ya Pak Heru. Kebetulan memang sate saya
tinggal tersisa sepuluh tusuk sate kambing ini.”.
“Saya siapkan dulu ya Pak.”, kataku sembari mulai
menyiapkan sepuluh tusuk sate kambing yang akan kubakar. Bara api memang selalu
siap membara, karena untuk berjaga setiap ada pembeli yang ingin membeli sateku
ini.
10 Menit kemudian
“Ini Pak Heru satenya. Bayarnya tunai atau kredit ni.”,
candaku lagi pada Pak Heru, karena setahuku Pak Heru adalah seorang petugas di
bank yang mengurusi kredit. Entah apa lah itu istilahnya.
Pak Heru hanya tersenyum. Sembari menyerahkan uangnya
kepadaku, ia berkata
“ Ah si abang bisa-bisa aja. Ini bang uangnya”
“Makasih ya Pak Heru. Hati-hati di jalan ya.”, kataku
padanya.
Pak Heru nampaknya tak mendengar perkataanku tadi. Ia
langsung saja menyalakan motornya, lalu menjalankannya menyusuri jalanan
menjauhi taman kota.
Segera setelah Pak Heru pergi meninggalkan gerobakku,
kubereskan alat-alat pembakaran sate dan bangku-bangku plastik tempat biasa
para pelanggank u duduk. Setelah menyapu tempat aku berjualan dan mencuci
piring-piring kotor yang menumpuk di ember, kubereskan gerobakku dan berjalan
pulang.
***
Malam berikutnya di
taman kota
“Selamat malam Bang Madun.”, seorang gadis cantik remaja
tiba-tiba menyapaku.
“Iya dik. Ada apa ya dik. Mau beli sate berapa tusuk?”,
tanyaku kepadanya. Pertanyaan yang memang selalu aku tanyakan kepada setiap
orang yang datang ke gerobakku ini.
“Nama saya Ani Bang. Saya anaknya Pak Heru. Saya dengar
ayah saya sering sekali membeli sate disini.”
“Oh, anaknya Pak Heru ya. Pasti mau beli sate buat
bapaknya ya?”, tanyaku.
Rona sedih seketika muncul dari wajah remaja berusia
kira-kira belasan itu. Matanya berkaca-kaca seolah menahan air mata yang datang
tiba-tiba.
“Gak Bang. Saya kesini tidak untuk membeli sate untuk
bapak saya. Saya justru ingin menanyakan apakah Bapak saya punya utang piutang
ke Bapak, karena tiga hari yang lalu Bapak saya meninggal terkena serangan
jantung. Dan saat-saat terakhir itu, dia bilang bahwa dia sedang ingin makan
sate kambing Bang Madun ini.”
Aku terdiam mematung tanpa ada reaksi apapun.
Rasa takut sekaligus bingung muncul di hatiku.
“Kalau Pak Heru itu meninggal tiga hari yang lalu,
berarti Pak Heru yang semalam datang itu siapa...”
Seketika bulu kudukku berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya ya....:))