Hujan masih dengan lebatnya mengguyur kota Jakarta. Sedikit memberi kesejukan di tengah padatnya ibukota.
Terminal Blok M
sore ini terasa lebih lenggang. Tak terlihat orang-orang yang biasanya
berseliweran di sekitar terminal ini. Semua orang seakan bersembunyi dari hujan
yang turun deras, jatuh dari langit di luar sana. Beberapa orang berdiri
disini, bersamaku, di pintu keluar Blok M Square ini. Meneduh sambil sesekali
merapatkan jaket mencoba menahan angin yang berhembus dengan dinginnya.
“Payungnya Om.Dua ribu
saja Om..”, suara anak kecil perempuan itu memecah lamunanku.
Kutatap sosok anak
kecil dengan payung ungunya berdiri di depanku. Mulutnya tak henti menawarkan
jasa ojek payungnya kepada orang-orang yang sedang meneduh dari hujan
sepertiku.
Kupanggil anak
kecil itu
“Dek...sini
payungnya...”
Bibirnya tersenyum
dengan kedua matanya menatapku riang. Badannya mendekat padaku sambil
menyerahkan sebuah payung ungu yang sedang ia pakai sedari tadi. Kuterima
payung itu dari tangan mungilnya, yang kutaksir berusia sekitar 10 tahun.
“Kamu gak punya
payung lainnya?”
Kepalanya
menggeleng pelan. Kulihat seluruh bajunya sudah basah dari tadi.
“Yaudah sini sama
Om. Daripada kamu ujan-ujanan terus besok sakit.”
“Gak papa Om. Aku
udah biasa kok Om..”
“Kalau gitu Om gak
mau sewa payung kamu ini. Kamu mau kayak gitu?”
Anak kecil itu
terdiam sesaaat. Sepertinya ia terpikir akan kata-kataku barusan.
“Ya deh Om...”
tukasnya singkat.
Kami pun kembali
berjalan menuju Melawai, tempat aku biasa menunggu Metro Mini 74 menuju rumahku
di daerah Tanah Kusir.
Hujan semakin lebat
menghujam ke tanah.
“Siapa namamu dik?”
tanyaku spontan kepadanya.
Kulihat tangannya
ia lipat di depan badannya yang mulai menggigil kedinginan.
“Amela, Om.”
“Kamu kelas berapa
Amela?”
Kepalanya
menggeleng. “Saya udah gak sekolah lagi Om. Saya berhenti sekolah setahun yang
lalu karena ga ada biaya lagi. Saya kerja buat makan dan bantu-bantu orang tua
Om”
“Trus selain ngojek
payung, kamu ngapain sehari-harinya Mel?”
“Kadang saya ngamen,
atau kalau gak, saya ngumpulin gelas atau botol bekas air mineral buat saya
jual Om.”
“Apa aja Om, yang
penting bisa buat saya makan.”
Hatiku langsung
tersentuh mendengar kata-kata Amela, gadis kecil yang di usia sekecil ini sudah
harus mencari nafkah demi sepiring nasi untuk ia bertahan hidup. Memang aku
sering mendengar berita bahwa banyak sekali anak kecil yang harus putus sekolah
dan akhirnya harus menjadi pengamen, pengemis, maupun pemulung hanya untuk
menyambung hidup. Namun, baru kali ini aku bertemu dan bahkan berbicara
langsung dengan seorang anak yang kini berada di sampingku, Amela.
“Kusir...kebayoran...taman
puring....Ayo naik bang..”
Tanpa terasa aku
telah sampai di tempat aku biasa menunggu Metro Mini 74. Asap knalpot yang
menyembur di tengah-tengah hujan membuat nafasku sedikit sesak.
Kurogoh saku
celanaku, dan kukeluarkan uang lima puluh ribuan.
Selanjutnya
kuulurkan tanganku kepada Amela dan kuserahkan uang itu kepadanya
“Mel, ini bayaran
buat sewa payungnya.”, kataku kepadanya.
Tangannya seperti
menolak uang yang kuberikan.
“Tapi Om...Ini
terlalu banyak Om. Saya minta dua ribu saja Om.”
Kutatap matanya kecilnya
dalam-dalam.
“Sudah gak apa-apa.
Yang dua ribu untuk bayaran kamu, sisanya untuk kamu belikan payung lagi ya Mel.
Jadi kalau kamu sewain payung ke orang, kamu masih punya payung untuk kamu
pakai sendiri”
Keraguan masih
tampak dari wajah Amela. Mungkin aku ini dianggapnya main-main atau hanya orang
aneh yang berbaik hati demi maksud tertentu.
“Sudah Mel.
Ini...terima saja”
Kumasukkan paksa uang
kertas lima puluh ribu itu ke dalam kantong celana Amela.
Segera setelah itu,
aku berlari ke pohon di seberang jalan. Meninggalkannya di dekat lampu merah di
sisi jalan lainnya.
“Om...”
Suara kecil Amela
memanggilku dari kejauhan.
Kuarahkan pandanganku
ke arahnya.
“Terima kasih ya
Om...”, teriaknya lagi sembari melambaikan tangan.
Kukembangkan
senyuman di bibirku dan kubalas lambaian tangannya.
“Iya
Mel. Semoga uang itu bisa sedikit meringankan bebanmu ya..”, kataku dalam
hati.
*****
Dua hari berlalu
Hujan seperti
biasanya kembali mengguyur Jakarta sore ini. Dan seperti biasanya, aku dan beberapa
orang lain, berdiri di pintu keluar Blok M Square, menunggu hujan sore ini
sedikit mereda. Ya, tempat ini memang menjadi tempat menunggu bagi orang-orang
yang pulang kerja namun tertahan untuk pulang karena hujan tanpa henti turun di
luar sana.
Kurogoh ponsel di
kantong celanaku. Tujuh pesan singkat alias SMS yang masuk dan belum terbaca tertera
di layar ponselku. Kubuka satu persatu pesan singkat yang masuk.
Tiba-tiba, saat
akan kubuka SMS yang terakhir, suara yang kukenal terdengar di pendengaranku.
“Suara Amela...ya..Itu
suara Amela..”, ucapku pada diriku sendiri.
Kusapukan
pandanganku ke arah depan, kanan dan kiri. Mataku menangkap sosok yang kucari.
Seorang anak kecil dengan
sebuah payung ungu tertutup di genggaman tangan kirinya, dan sebuah payung ungu
terbuka di tangan kanannya. Berdiri sekitar 5 meter dari tempatku berdiri.
“Om......”,
panggilnya untuk seseorang, yang aku yakin aku.
Sebuah senyuman
manis mengembang di bibirnya.
Amela dengan dua
payungnya.
om baik bgt deh. aku syedih bacanya. XD
BalasHapushahaha.. bagus!
@wennywardila:
BalasHapusIya dong...
Om kan selalu baik sama setiap orang.
Unye mau Om kasih permen?
haha
((y)ˆ ³ˆ) (y) siippp
BalasHapusMenarik ;)
@cocoper6:
BalasHapusTerima kasih mas coper kunjungannya
ih bagus...cerita sosial gini :')
BalasHapus@chemistryofray:
BalasHapusthank you ray...
Kan yang nulis juga berjiwa sosial ray...hehe
ini pernah dimuat dimana, ya? kayak pernah baca gitu... bagus... :D
BalasHapusMakasih anita udah berkunjung..
HapusWaduh..Pernah dimuat dimana ya.Aku sendiri cuma publish di blog aja.
hehe..
waaaaahhh, waw waw waw (bacanya : sambil lupa nutup mulut)
BalasHapushuaaaaaaaa.....
Hapusmakasih yo udah mau baca...
Jadi malu...hehe