Pagi ini, kulakukan kegiatan yang sudah
hampir setahun ini aku lakukan setiap hari. Ya, sebagai seorang buruh cuci di
kost-kostan milik Pak Abdul ini, pekerjaanku setiap pagi hari adalah berjalan
dari satu pintu kamar ke pintu kamar, mengambil baju kotor milik para penghuni
kost yang berjumlah 20 orang, dan membawanya ke kamar mandi belakang untuk
segera kucuci. Siang hari, kujemur pakaian-pakaian itu berjejer di tali jemuran
yang dipasang di atas bangunan kostan Pak Abdul ini. Sore harinya,
pakaian-pakaian tersebut , baik yang sudah kering maupun masih lembab,
kusetrika dan kulipat rapi agar pagi harinya pakaian-pakaian tersebut sudah
tertumpuk rapi di depan pintu kamar masing-masing penghuni kostan.
Aku sudah berada di depan pintu kamar no.
16. Penghuni kamar ini adalah Mba Siska, seorang perempuan mungkin berumur
sekitar 18 tahunan, seumuran dengan anakku satu-satunya Yuni. Sepertinya Mba
Siska ini adalah anak orang kaya. Hal itu aku simpulkan dari baju-baju yang ia
miliki, yang setiap hari ia letakkan di depan pintu kamarnya untuk kucuci. Tak
terkecuali hari ini.
Saat kuangkat sehelai kaos dari depan
pintu kamar Mba Siska, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Melongoklah dari
dalam kamar sebuah wajah perempuan ayu yang sedari tadi melintas di pikirku, Mba
Siska.
“Bik, ini satu lagi bik.”, kata Mba Siska
kepadaku seraya menyerahkan sepotong pakaian kepadaku. Sebuah gaun merah tanpa
lengan.
“Bik, tolong khusus yang ini nyucinya
hati-hati ya Bik. Karena gaun ini bahannya gampang melar, jadi tolong yang ati-ati
ya Bik nyucinya.”, ucapnya lagi menambahkan.
“Iya Mba Siska. Saya akan hati-hati nyuci
baju ini.”, kataku menjawabnya sembari menganggukan kepala.
“Sabtu ini udah bisa kering kan Bik?
Soalnya lusa mau saya pakai buat ke pesta” tanyanya.
Kupikir sejenak.
“Sabtu
kan.
Itu artinya masih 4 hari lagi. Semoga
saja hujan tidak turun nanti siang.”
“Bisa Mba. Saya janji Sabtu sudah
tertumpuk rapi di depan kamar ini Mba.”, jawabku meyakinkannya.
“Oke Bik. Saya masuk kamar lagi ya.”, kata
Mba Siska kepadaku. Segera dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Aku pun
kembali sendiri di depan pintu kamarnya. Kuteruskan lagi pekerjaanku mengambil
potong demi potong pakaian yang diletakkan di ember yang ada di depan tiap
pintu kamar.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi
yang ada di belakang kost-kostan ini.
****
Kukucek perlahan gaun merah milik Mba
Siska. Benar-benar perlahan, karena aku takut gaun ini menjadi rusak atau
melar. Memang bahan gaun ini terasa lebih lembut dan gampang melar.
“Harga
gaun ini pasti mahal. Mungkin sama dengan gajiku sebulan disini yang cuma empat
ratus ribu.”
Sengaja kupisahkan gaun merah itu dari
cucianku lainnya. Kuletakkan ke dalam ember tersendiri, terpisah dari pakaian
kotor lainnya yang kurendam dalam baskom warna hitam. Pokoknya aku benar-benar
ingin menjaga agar pakaian itu tidak kusut, tidak melar dan tidak rusak. Gaun
itu istimewa bagiku.
“Andai
saja anakku bisa mengenakan gaun seperti ini di hari ulang tahunnya besok,
pasti dia akan senang sekali”
“Tapi
mana mungkin aku bisa membelikannya...”
“Rasanya
aku ini tak pantas disebut ibu yang baik, yang setiap anaknya ulang tahun tak
pernah sekalipun memberi hadiah”
Perlahan, air mata mengalir turun dari
mataku.
******
Sambil
menyeterika pakaian yang telah dicuci emak siang tadi, Yuni bersenandung lirih.
Takut membangunkan emak yang terbaring di bilik sebelah. Emak lagi tidak enak
badan, demam. Tidak biasa-biasanya emak begitu, sepertinya emak lagi banyak
pikiran.
Ia selalu
terhibur kala menyeterika pakaian-pakaian itu. moment yang sangat dinikmatinya.
Ah beruntungnya mereka bisa mengenakan pakain-pakaian bagus ini pikir Yuni.
Pakaian sekeranjang besar itu sudah hampir selesai, saat matanya tertumbuk pada
sepotong gaun merah.
Perlahan
diangkatnya gaun itu, seukuran dengan tubuhnya. Hmm indahnya. Tiba-tiba
terlintas dipikirannya untuk sekedar mencoba, sepertinya pas.
Yuni
tersenyum –senyum sendiri melihat bayangannya di cermin. Oh cantiknya. Gaun itu
melekat sempurna di tubuh rampingnya, seolah memang dijahit sesuai ukurannya.
Yuni membayangkan ia mengenakan gaun itu besok. Pasti semua orang akan
terkagum-kagum melihatnya.
“
Yuni, apa yang kamu lakukan”
Suara
emak membuyarkan lamunan Yuni. Entah sejak kapan emak berdiri di ambang pintu.
“
Cantik ya mak?” tanyanya
Emak
tak kuasa menahan desakan air yang menggenangi retinanya. Hatinya sendu.
“ Ayo
cepat buka, nanti rusak” perintah emak tergesa
Yuni
segera menuruti omongan emak. Susah payah ia meraih risleting di belakang gaun.
Dengan cepat ditariknya turun.
Krekk….
Ada
hening menakutkan yang tercipta bersamaan dengan terlepasnya gaun itu dari
tubuh Yuni.
NB: Tulisan ini adalah tulisan saya (@rbennymurdhani) dan Windi Teguh.
Baca blognya Windi Teguh disini.
bacanya kok tegang ya? ikut merasakan ketakutan si emak rasanya. takut gaunnya rusak. XD well done!
BalasHapusngomong" nama anaknya Murni atau Yuni?
@Wenny Wardila:
BalasHapusMakasih Unye udah berkunjung membaca.
Haha...Aku nulis Murni, Windi nulis Yuni..Ok aku koreksi...
Jiahaha, gw ga teliti. Asal nyomot nama orang aja.
BalasHapus@windi teguh:
BalasHapusKalo orang tua ga teliti itu dianggap kewajaran kok wind..
Hehehe
*kaburrrrr...