“Hei Nad, nih ada surat cinta lagi buat kamu. Cieh..., senangnya yang sering dapat surat cinta”, ledek Dinda sembari memberikan surat bersampul merah jambu itu kepadaku.
“Ye....Bukan surat cinta kok Din. By the way, makasih ya Din.”ucapku padanya sembari melirik ke arah kubikel Billy. Tak ada gerakan disana.
“Sama-sama Nad. Jangan lupa makan-makannya ya...hehe” ledek Dinda sekali lagi sambil berjalan pergi dari kubikelku.
Kulihat sekilas surat itu. Kubuka laci mejaku, dan kuletakkan surat yang baru saja kuterima bersama dengan belasan surat bersampul merah jambu yang lainnya.
“Huh, sudah belasan surat cinta yang tapi kenapa tak ada respon apapun dari Billy. Memangnya dia gak cemburu kalau ada yang ngedeketin aku apa”, gerutuku dalam hati.
“Apa Billy sudah gak sayang aku lagi”, batinku kembali bertanya.
Yah, jujur dalam hati kecilku, aku masih sayang Billy, cowok rekan kerjaku yang juga mantan pacarku yang terakhir. Kami putus dua bulan yang lalu. Simpel sih masalahnya. Aku mutusin dia gara-gara dia datang terlambat setengah jam saat kami janjian makan malam untuk merayakan setahun hari jadian kami.
Rekaman peristiwa itu terngiang di pikiranku
“Aku mau kita putus. Kamu gak pernah ngehargain hubungan ini Bil”, kataku pada Billy saat dia baru saja datang ke kafe tempat kita janjian.
“Tapi Nad, masa gara-gara ini aja kita putus. Kan aku telat juga gara-gara abis meeting di luar kantor. Kamu pun tahu itu”, balas Billy.
Kujawab lagi kata-kata Billy, “Pokoknya aku mau putus. Aku ga butuh kamu lagi. Aku gak mau ngomong sama kamu lagi sekalipun di kantor, kecuali untuk urusan kerjaan”.
“Oi Nad....jangan ngelamun lu. Dipanggil bos ke ruangan tuh”, suara Felly, tetangga kubikel sebelah, membangunkanku dari lamunan.
Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku...
“Hufttt....”, kuhela nafas sembari berjalan menuju ruangan bos.
Setelah kira-kira satu setengah jam mendengar omongan bos yang tak sepenuhnya bisa aku tangkap artinya, akhirnya bos mempersilahkanku kembali ke kubikelku.
Saat tiba di mejaku, kulihat sepucuk surat bersampul biru muda tergeletak di sana.
“Surat dari siapa ini?”, tanyaku dalam hati.
Kubuka sampul surat itu perlahan. Kubuka lipatannya dan kubaca dengan seksama.
“Ye....Bukan surat cinta kok Din. By the way, makasih ya Din.”ucapku padanya sembari melirik ke arah kubikel Billy. Tak ada gerakan disana.
“Sama-sama Nad. Jangan lupa makan-makannya ya...hehe” ledek Dinda sekali lagi sambil berjalan pergi dari kubikelku.
Kulihat sekilas surat itu. Kubuka laci mejaku, dan kuletakkan surat yang baru saja kuterima bersama dengan belasan surat bersampul merah jambu yang lainnya.
“Huh, sudah belasan surat cinta yang tapi kenapa tak ada respon apapun dari Billy. Memangnya dia gak cemburu kalau ada yang ngedeketin aku apa”, gerutuku dalam hati.
“Apa Billy sudah gak sayang aku lagi”, batinku kembali bertanya.
Yah, jujur dalam hati kecilku, aku masih sayang Billy, cowok rekan kerjaku yang juga mantan pacarku yang terakhir. Kami putus dua bulan yang lalu. Simpel sih masalahnya. Aku mutusin dia gara-gara dia datang terlambat setengah jam saat kami janjian makan malam untuk merayakan setahun hari jadian kami.
Rekaman peristiwa itu terngiang di pikiranku
“Aku mau kita putus. Kamu gak pernah ngehargain hubungan ini Bil”, kataku pada Billy saat dia baru saja datang ke kafe tempat kita janjian.
“Tapi Nad, masa gara-gara ini aja kita putus. Kan aku telat juga gara-gara abis meeting di luar kantor. Kamu pun tahu itu”, balas Billy.
Kujawab lagi kata-kata Billy, “Pokoknya aku mau putus. Aku ga butuh kamu lagi. Aku gak mau ngomong sama kamu lagi sekalipun di kantor, kecuali untuk urusan kerjaan”.
“Oi Nad....jangan ngelamun lu. Dipanggil bos ke ruangan tuh”, suara Felly, tetangga kubikel sebelah, membangunkanku dari lamunan.
Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku...
“Hufttt....”, kuhela nafas sembari berjalan menuju ruangan bos.
Setelah kira-kira satu setengah jam mendengar omongan bos yang tak sepenuhnya bisa aku tangkap artinya, akhirnya bos mempersilahkanku kembali ke kubikelku.
Saat tiba di mejaku, kulihat sepucuk surat bersampul biru muda tergeletak di sana.
“Surat dari siapa ini?”, tanyaku dalam hati.
Kubuka sampul surat itu perlahan. Kubuka lipatannya dan kubaca dengan seksama.
Untuk Nadia
Hai Nad.
Tujuan aku kirim surat ini adalah karena aku pengin minta maaf atas kesalahan-kesalahan aku selama jadi cowok kamu. Aku tahu aku terlambat minta maaf.
Harusnya aku minta maaf ke kamu dari sebulan kemarin, sebelum kamu jadian dengan cowok itu. Iya cowok itu, cowok yang akhir-akhir ini mengirim surat cinta warna pink kepadamu.
Meski aku terlambat mengatakan ini, tapi aku ingin mengatakannya.
“Aku sayang kamu”.
Selamat ya buat hubungan kamu dengan cowok itu. Semoga langgeng.
Dari Billy
Hai Nad.
Tujuan aku kirim surat ini adalah karena aku pengin minta maaf atas kesalahan-kesalahan aku selama jadi cowok kamu. Aku tahu aku terlambat minta maaf.
Harusnya aku minta maaf ke kamu dari sebulan kemarin, sebelum kamu jadian dengan cowok itu. Iya cowok itu, cowok yang akhir-akhir ini mengirim surat cinta warna pink kepadamu.
Meski aku terlambat mengatakan ini, tapi aku ingin mengatakannya.
“Aku sayang kamu”.
Selamat ya buat hubungan kamu dengan cowok itu. Semoga langgeng.
Dari Billy
“Oh tidak. Billy mengira aku sudah punya cowok lain. Padahal surat-surat pink itu aku tulis dan kirim sendiri hanya untuk membuatmu cemburu dan mengejarku kembali”, sesalku dalam hati.
NB: Diikutsertakan dalam proyek #15HariNgeblogFF hari ketujuh dengan topik "Sepucuk Surat (Bukan) Dariku" yang diadakan oleh Mbak @WangiMS dan Mas @momo_DM.
wah..ga nyangka dia sendiri yang nulis surat! :0 hmm boleh dicoba tuh taktik buat bikin cemburu..
BalasHapusHehe...tapi jangan sampe nyesel kayak si Nadia ya...
HapusSemoga judul hari ke-8 gak galau2an lagi..
Pusing diriku...haha
hmm, salah ceweknya sendiri, pake mutusin karena alasan sepele segala, trus sok2 pengen bikin cemburu. senjata makan tuan :|
BalasHapusKadang gengsi memang mengalahkan segalanya..
Hapus#nyindirparacewek
Makasih kunjungannya...