Bayi lelaki itu merangkak mendekatiku. Dia berhenti di beberapa langkah dari tempatku berdiri. Pandangan kami beradu. Kurasakan kedua matanya seperti sebilah pedang yang mengoyak-ngoyak pikiranku dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah kulakukan.
Kucoba untuk menggerakan kakiku ke belakang. Kakiku bergeming. Seakan ribuan ton besi terikat di pergelangan kakiku, membuatnya tak bisa bergerak bahkan satu sentimeter pun.
“Mama…” kata bayi itu. “Kenapa engkau membunuhku?”
Bayi itu terus saja merangkak perlahan mendekatiku. Kakiku bergeming dan lidahku kelu. Bibirku terus mencoba untuk berteriak, tapi tak sedikit pun suara keluar dari dalam tenggorokanku.
“Mama….Kenapa engkau membunuhku?” ucap bayi lelaki itu sekali lagi.
Tenagaku seakan terkuras habis berusaha untuk menggerakan kakiku yang tak kunjung bisa bergerak. Keringat dingin turun membasahi sekujur pakaianku seiring dengan semakin dekatnya bayi itu denganku.
“Maafkan mama Nak. Mama cuma belum siap menjadi bahan omongan orang lain”, kataku tiba-tiba. Ajaib. Mulutku kembali bisa bicara.
Sorot mata bayi itu menunjukkan amarah yang berapi-api begitu mendengar permintaan maafku tadi. Sepertinya dia tak bisa terima alasanku.
Ketika bayi lelaki yang berlumuran darah itu telah berjarak sekitar sejengkal dari kakiku, tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan menghilang begitu saja.
Suara itu. Aku hafal benar suara itu. Suara dari alarm telepon genggamku yang sengaja kuatur agar membangunkanku setiap pagi.
Kubuka mataku perlahan sembari tanganku berusaha mencari-cari telepon genggamku. Begitu tanganku mendapatkan apa yang dicarinya, kulihat layar teleponku tadi. Ternyata suara berdering tadi bukanlah bunyi alarm tanda aku harus bangun. Suara dering tadi adalah bunyi dering tanda ada yang meneleponku.
Begitu kuangkat teleponku, telingaku langsung disambut suara nafas yang terengah-engah seperti suara orang yang baru saja berlari dikejar sesuatu.
“Nino, kamu kenapa telepon aku pagi banget gini?” tanyaku kepada Nino, pemilik suara terengah-engah tersebut.
“Aku baru aja mimpi buruk, Sis”, jawab Nino. “Aku mimpi dikejar-kejar bayi lelaki dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah.”
Aku terdiam begitu mendengar penjelasan Nino tadi. Bukan. Bukan karena teringat pada mimpi buruk yang baru saja aku alami tadi. Tapi, karena kini di ujung ranjangku, bayi lelaki dengan mata penuh amarah itu muncul. Bergerak dan merangkak menuju pangkuanku.
“Mama…….Kenapa engkau membunuhku?”
Kucoba untuk menggerakan kakiku ke belakang. Kakiku bergeming. Seakan ribuan ton besi terikat di pergelangan kakiku, membuatnya tak bisa bergerak bahkan satu sentimeter pun.
“Mama…” kata bayi itu. “Kenapa engkau membunuhku?”
Bayi itu terus saja merangkak perlahan mendekatiku. Kakiku bergeming dan lidahku kelu. Bibirku terus mencoba untuk berteriak, tapi tak sedikit pun suara keluar dari dalam tenggorokanku.
“Mama….Kenapa engkau membunuhku?” ucap bayi lelaki itu sekali lagi.
Tenagaku seakan terkuras habis berusaha untuk menggerakan kakiku yang tak kunjung bisa bergerak. Keringat dingin turun membasahi sekujur pakaianku seiring dengan semakin dekatnya bayi itu denganku.
“Maafkan mama Nak. Mama cuma belum siap menjadi bahan omongan orang lain”, kataku tiba-tiba. Ajaib. Mulutku kembali bisa bicara.
Sorot mata bayi itu menunjukkan amarah yang berapi-api begitu mendengar permintaan maafku tadi. Sepertinya dia tak bisa terima alasanku.
Ketika bayi lelaki yang berlumuran darah itu telah berjarak sekitar sejengkal dari kakiku, tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan menghilang begitu saja.
Suara itu. Aku hafal benar suara itu. Suara dari alarm telepon genggamku yang sengaja kuatur agar membangunkanku setiap pagi.
Kubuka mataku perlahan sembari tanganku berusaha mencari-cari telepon genggamku. Begitu tanganku mendapatkan apa yang dicarinya, kulihat layar teleponku tadi. Ternyata suara berdering tadi bukanlah bunyi alarm tanda aku harus bangun. Suara dering tadi adalah bunyi dering tanda ada yang meneleponku.
Begitu kuangkat teleponku, telingaku langsung disambut suara nafas yang terengah-engah seperti suara orang yang baru saja berlari dikejar sesuatu.
“Nino, kamu kenapa telepon aku pagi banget gini?” tanyaku kepada Nino, pemilik suara terengah-engah tersebut.
“Aku baru aja mimpi buruk, Sis”, jawab Nino. “Aku mimpi dikejar-kejar bayi lelaki dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah.”
Aku terdiam begitu mendengar penjelasan Nino tadi. Bukan. Bukan karena teringat pada mimpi buruk yang baru saja aku alami tadi. Tapi, karena kini di ujung ranjangku, bayi lelaki dengan mata penuh amarah itu muncul. Bergerak dan merangkak menuju pangkuanku.
“Mama…….Kenapa engkau membunuhku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya ya....:))