Judul
tulisan saya ini bukan tentang hitung-hitungan atau matematika, meskipun saya
mengawali sedikit kegalauan yang tertuang dalam tulisan ini dengan kata “BERAPA
KALI”.
Sudah
beberapa hari ini memang saya terpikir untuk menulis tentang pelanggaran
aturan. Saya sendiri ketika ditanya “berapa kali dalam sehari seorang ROBERTUS
BENNY MURDHANI melanggar aturan?” pasti saya sendiri akan malu menjawabnya.
Karena sudah pasti dalam sehari, saya ini baik secara tidak sadar maupun sadar
(lebih banyak secara sadar sebenarnya..) melanggar peraturan. Mari kita hitung
berapa pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari-hari saya.
Dari
pagi, ketika saya berangkat ke kantor. Saya ini sering sekali datang terlambat
ke kantor. Jam kerja kantor saya yang seharusnya pukul 07.30, tapi saya seringkali
datang lebih dari jam tersebut. Selanjutnya di sore hari selesai pulang kantor,
saya seringkali melanggar peraturan lalu lintas dengan menyeberang di jalur
penyeberangan di depan Museum Nasional pada saat lampu tanda pejalan kaki masih
merah. Saya menyeberang hanya karena jalanan sepi, padahal seharusnya saya
menunggu lampu tanda pejalan kaki berwarna hijau. Selanjutnya, pelanggaran lalu
lintas juga kerap kali saya lakukan ketika saya sampai di daerah blok M.
Lagi-lagi saya seringkali menyeberang ketika lampu lalu lintas untuk kendaraan
masih berwarna hijau. Kali ini alasan saya bukan karena sepi, tapi karena
jalanan macet sehingga mobil dan motor berhenti.
Lihatlah,
betapa banyak pelanggaran yang saya lakukan dalam sehari. Pelanggaran di atas itu
baru contoh pelanggaran yang saya akui secara sadar dalam melanggar. Sedangkan
pasti lebih banyak pelanggaran yang secara tidak sadar saya lakukan.
Sebenarnya
apa sih yang sebenarnya membuat kita (terutama saya) seringkali melakukan
pelanggaran aturan?
Jujur
saya akui lagi bahwa kenapa saya seringkali melanggar adalah karena saya
melihat banyak orang juga yang melanggar, dan mereka tidak dihukum apapun. Dan,
karena pelanggaran itu dilakukan beramai-ramai dan berulang-ulang, pelanggaran
aturan tersebut menjadi hal yang dianggap biasa oleh masyarakat. Pelanggaran
aturan tersebut menjadi semacam budaya tak tertulis yang tumbuh di masyarakat.
Dan parahnya adalah budaya itu menjadi turun menurun ke generasi berikutnya,
ketika generasi berikutnya tersebut terbiasa melihat orang tuanya melanggar
peraturan.
Sebenarnya
jika berbicara mengenai pelanggaran aturan, hal yang sering dikeluhkan dan
disalahkan orang-orang pasti adalah kurang tegasnya penegakan hukum dan aturan
di Indonesia. Jujur saya mengakui, hal tersebut memang sangat benar. Seringkali
hukum dan aturan tersebut hanya sebatas pajangan saja tanpa bisa diterapkan
secara menyeluruh, termasuk pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelanggar
aturan tersebut.
“Yang
membuat aturan kan pemerintah, berarti pemerintah dong yang harus bertanggung
jawab terhadap pelanggaran aturan.”
Pasti
pernyataan itu yang ada di pikiran orang-orang bila berbicara siapa yang
bertanggung jawab terhadap pelanggaran aturan. Saya sendiri kurang sependapat
dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, kita warga masyarakat pun memiliki
peranan yang sangat besar terhadap tegaknya suatu aturan di dalam masyarakat.
Sekarang
pertanyaan, muncul lagi di pikiran saya. “Jika memang pemerintah tegas
menegakkan suatu aturan, apakah kita sudah siap menerima sanksi bila ternyata
kita, baik sengaja atau tidak sengaja, melanggar peraturan tersebut?”
Saya
jadi ingat kejadian ketika saya sedang naik bis Transjakarta dalam perjalanan
pulang ke rumah. Ketika bis Transjakarta tersebut berhenti di shelter Karet,
seorang bapak dan ibu naik ke dalam bis. Sang bapak langsung memilih duduk di
bagian depan bis beserta istrinya. Petugas bis pun mengingatkan bapak tersebut
untuk pindah ke belakang, karena bagian depan bis merupakan bagian khusus untuk
wanita. Dengan menggerutu, sang bapak dan istri pindah ke bagian belakang yang
merupakan bagian bis untuk umum (wanita dan pria). Setelah duduk, bapak
tersebut menggerutu “Masa suami dan istri gak boleh duduk bareng. Yang bikin
aturan harusnya kan juga ngerti dengan keadaan.”.
Kejadian
tersebutlah yang membuat saya menanyakan pertanyaan saya yang ada di atas.
Apakah kita benar-benar sudah siap bila aturan benar-benar ditegakkan.
Lewat
tulisan ini, saya sebenarnya ingin mengajak kita (termasuk saya sendiri) untuk
saling membantu dan bekerjasama dengan pemerintah dalam penegakkan aturan di
masyarakat. Saya ingin mulai sekarang kita (mulai dari saya sendiri juga) untuk
mengikuti dan mematuhi setiap aturan yang ada di sekitar kehidupan kita
sehari-hari. Mungkin memang susah untuk mengubah apa yang sudah membudaya dalam
masyarakat dan diri kita. Tapi jika tidak kita mulai, selamanya budaya yang
buruk tersebut tidak akan berubah.
Menutup
tulisan saya ini, saya ingin mengutip sebuah tweet dari musisi @AddieMS, yang menyentil pikiran saya. Bunyi tweet-nya begini kira-kira:
“Indonesia memang
bangsa yang toleran terhadap pelanggaran/penyimpangan aturan, tapi seringkali tidak
toleran terhadap perbedaan”.
Silahkan
direnungkan di hati dan pikiran kita masing-masing.
Sekian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya ya....:))