“Bapak, aku pengen permen cokelat kayak punya Adi”.
rengek Budi kepadaku dengan setelan seragam merah putihnya.
Sudah tiga hari ini anakku Budi, merengek kepadaku untuk membelikannya permen cokelat “SUPER” seperti yang biasa Adi bawa ke sekolah. Adi ini adalah anak Pak Yadi, tetangga rumahku yang hidup mapan dengan pekerjaannya yang entah apa. Yang jelas dia punya rumah dengan beberapa mobil mewah di dalamnya. Berbeda sekali dengan keadaan hidupku serta rumah kontrakanku yang hanya berukuran 4 x 6 meter.
“Ntar ya Nak. Pulang sekolah Bapak kasih permen yang kayak punya Adi. Dah sekarang kamu berangkat sekolah dulu ya.”
“Iya Pak. Tapi janji ya pulang sekolah nanti Bapak kasih permennya.”
“Iya Bud. Bapak janji..”, jawabku.
“Budi berangkat ya Pak.”,ucap Budi sembari mencium tanganku.
Kuusap rambutnya.
“Ati-ati di jalan Bud. Yang rajin belajarnya ya.”
Budi berlari meninggalkanku. Dia memang anak yang penurut, dan tak pernah memaksa saat dia minta sesuatu. Sudah banyak permintaannya yang hanya kubalas dengan janji. Terakhir kali dia meminta dibelikan pensil baru karena miliknya yang lama sudah tinggal sepanjang jari kelingking. Waktu itu pun aku jawab “Nanti ya Nak. Bapak janji kalau ada rejeki Bapak beliin pensil baru buat kamu”. Dan seperti biasanya pun, Budi tak lagi merengek minta dibelikan pensil baru.
Tapi hari ini, permintaan Budi untuk dibelikan permen cokelat seperti punya Adi harus kupenuhi. Toh harga permen cokelat pasti lebih murah daripada harga sebuah pensil baru. Kurogoh dompet di kantong kiri celanaku. Kubuka dompetku, memastikan tersisa berapa uang hasil kerjaku, yang hanya bekerja sebagai kondektur Metro Mini 69 jurusan Blok M- Ciledug dengan bayaran hanya 15-20 ribu sehari.
“Huhhh...”,kuhela nafasku. Badanku lemas sembari mengenggam uang lima ribuan di tanganku.
“Apa cukup ya uang lima ribu ini untuk membeli permen yang diminta Budi”.
Tin...tin...
“Sepertinya itu suara klakson metro mini Bang Udin”, kataku dalam hati.
“Jok..Joko.Ayo berangkat narik...”.
Suara keras dengan aksen Batak yang sudah sangat kukenal.
Bang Udin mengajakku untuk berangkat kerja. Mengais rejeki dari setiap uang dua ribuan penumpang yang naik Metro Miniku..
Buru-buru kututup dan kumasukkan lagi dompetku ke dalam kantong celanaku.
‘Iya bang.”, jawabku sambil berlari menuju pintu rumah kontrakanku.
***
“Yo...Ciledug Ciledug Ciledug...”
teriakku keras-keras untuk mendapatkan penumpang. Kuacungkan ibu jariku setiap kali ada orang yang berdiri di tepi jalan. Sesekali kuketuk-ketukan uang logam di tanganku, memberi tanda kepada Bang Udin tiap kali ada penumpang yang akan turun.
Metro Miniku berhenti terkena macet di jalan daerah kontrakanku, tepatnya di depan ITC Cipulir Mas.
“Ada apa ya. Kok sampai macet begini.”, pikirku.
Penumpang di dalam mulai kegerahan. Udara panas Jakarta semakin menambah panas suasana.
“Hei Jok. Coba kau lihat ke depan sana.”
Tanpa menjawab perintah Bang Udin, aku berjalan menyusup ke sela-sela mobil di depan Metro Miniku. Dari kejauhan kulihat beberapa orang yang berkerumun.
Semakin dekat jarakku dengan kerumunan itu, ternyata orang-orang itu sedang mengerumuni sebuah mobil yang terguling di badan jalan. Tampak beberapa orang itu pergi dari kerumunan dengan membawa satu dua kardus bertuliskan “PERMEN COKELAT SUPER”.
“Itu kan permen cokelat seperti yang anakku minta..”, pikirku cepat.
Segera aku berlari mendekat mobil yang terguling itu. Kuikuti apa yang orang lain lakukan. Dengan segera kuambil beberapa permen cokelat yang tercecer di sekitar mobil yang terguling itu.
Sembari memungut permen dan memasukkannya ke tas pinggang berisi uang hasil tarikan Metro Mini, hatiku dan bibirku tersenyum seirama.
“Semoga Budi senang kalau aku bisa bawa permen segini banyak”, raup tanganku berusaha mengumpulkan permen sebanyak-banyaknya.
Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundakku.
“Oi Jok..Loe ngapain disini. Mending loe langsung ke Rumah Sakit Kartini Cipulir sono. Anakku loe itu tadi ketabrak mobil ini. Tadi sopir mobil ini udah mau dikeroyok ama orang-orang sini, untung polisi udah langsung ngamanin. Cuma ni mobil aja yang udah abis barang-barangnya dibawa.”
Aku masih tertegun mendengar ucapan Slamet, tetangga rumahku, yang sedang mencerocos menerangkan kejadian yang baru saja dialami mobil di depanku ini.
“Udah sana jangan ngelamun. Cepetan sana liat anak loe di rumah sakit.”
Segera kulangkahkan kakikku mendekati tukang ojek di depan ITC Cipulir Mas.
Tak kupedulikan lagi nasib Bang Udin, Metro Mini beserta penumpang di dalamnya. Tak kupedulikan lagi orang-orang yang masih berkerumun di sekitar mobil yang terguling tadi.
“Bang, cepet anterin saya ke Rumah Sakit Kartini Cipulir.”, kataku tergesa-gesa kepada tukang ojek.
rengek Budi kepadaku dengan setelan seragam merah putihnya.
Sudah tiga hari ini anakku Budi, merengek kepadaku untuk membelikannya permen cokelat “SUPER” seperti yang biasa Adi bawa ke sekolah. Adi ini adalah anak Pak Yadi, tetangga rumahku yang hidup mapan dengan pekerjaannya yang entah apa. Yang jelas dia punya rumah dengan beberapa mobil mewah di dalamnya. Berbeda sekali dengan keadaan hidupku serta rumah kontrakanku yang hanya berukuran 4 x 6 meter.
“Ntar ya Nak. Pulang sekolah Bapak kasih permen yang kayak punya Adi. Dah sekarang kamu berangkat sekolah dulu ya.”
“Iya Pak. Tapi janji ya pulang sekolah nanti Bapak kasih permennya.”
“Iya Bud. Bapak janji..”, jawabku.
“Budi berangkat ya Pak.”,ucap Budi sembari mencium tanganku.
Kuusap rambutnya.
“Ati-ati di jalan Bud. Yang rajin belajarnya ya.”
Budi berlari meninggalkanku. Dia memang anak yang penurut, dan tak pernah memaksa saat dia minta sesuatu. Sudah banyak permintaannya yang hanya kubalas dengan janji. Terakhir kali dia meminta dibelikan pensil baru karena miliknya yang lama sudah tinggal sepanjang jari kelingking. Waktu itu pun aku jawab “Nanti ya Nak. Bapak janji kalau ada rejeki Bapak beliin pensil baru buat kamu”. Dan seperti biasanya pun, Budi tak lagi merengek minta dibelikan pensil baru.
Tapi hari ini, permintaan Budi untuk dibelikan permen cokelat seperti punya Adi harus kupenuhi. Toh harga permen cokelat pasti lebih murah daripada harga sebuah pensil baru. Kurogoh dompet di kantong kiri celanaku. Kubuka dompetku, memastikan tersisa berapa uang hasil kerjaku, yang hanya bekerja sebagai kondektur Metro Mini 69 jurusan Blok M- Ciledug dengan bayaran hanya 15-20 ribu sehari.
“Huhhh...”,kuhela nafasku. Badanku lemas sembari mengenggam uang lima ribuan di tanganku.
“Apa cukup ya uang lima ribu ini untuk membeli permen yang diminta Budi”.
Tin...tin...
“Sepertinya itu suara klakson metro mini Bang Udin”, kataku dalam hati.
“Jok..Joko.Ayo berangkat narik...”.
Suara keras dengan aksen Batak yang sudah sangat kukenal.
Bang Udin mengajakku untuk berangkat kerja. Mengais rejeki dari setiap uang dua ribuan penumpang yang naik Metro Miniku..
Buru-buru kututup dan kumasukkan lagi dompetku ke dalam kantong celanaku.
‘Iya bang.”, jawabku sambil berlari menuju pintu rumah kontrakanku.
***
“Yo...Ciledug Ciledug Ciledug...”
teriakku keras-keras untuk mendapatkan penumpang. Kuacungkan ibu jariku setiap kali ada orang yang berdiri di tepi jalan. Sesekali kuketuk-ketukan uang logam di tanganku, memberi tanda kepada Bang Udin tiap kali ada penumpang yang akan turun.
Metro Miniku berhenti terkena macet di jalan daerah kontrakanku, tepatnya di depan ITC Cipulir Mas.
“Ada apa ya. Kok sampai macet begini.”, pikirku.
Penumpang di dalam mulai kegerahan. Udara panas Jakarta semakin menambah panas suasana.
“Hei Jok. Coba kau lihat ke depan sana.”
Tanpa menjawab perintah Bang Udin, aku berjalan menyusup ke sela-sela mobil di depan Metro Miniku. Dari kejauhan kulihat beberapa orang yang berkerumun.
Semakin dekat jarakku dengan kerumunan itu, ternyata orang-orang itu sedang mengerumuni sebuah mobil yang terguling di badan jalan. Tampak beberapa orang itu pergi dari kerumunan dengan membawa satu dua kardus bertuliskan “PERMEN COKELAT SUPER”.
“Itu kan permen cokelat seperti yang anakku minta..”, pikirku cepat.
Segera aku berlari mendekat mobil yang terguling itu. Kuikuti apa yang orang lain lakukan. Dengan segera kuambil beberapa permen cokelat yang tercecer di sekitar mobil yang terguling itu.
Sembari memungut permen dan memasukkannya ke tas pinggang berisi uang hasil tarikan Metro Mini, hatiku dan bibirku tersenyum seirama.
“Semoga Budi senang kalau aku bisa bawa permen segini banyak”, raup tanganku berusaha mengumpulkan permen sebanyak-banyaknya.
Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundakku.
“Oi Jok..Loe ngapain disini. Mending loe langsung ke Rumah Sakit Kartini Cipulir sono. Anakku loe itu tadi ketabrak mobil ini. Tadi sopir mobil ini udah mau dikeroyok ama orang-orang sini, untung polisi udah langsung ngamanin. Cuma ni mobil aja yang udah abis barang-barangnya dibawa.”
Aku masih tertegun mendengar ucapan Slamet, tetangga rumahku, yang sedang mencerocos menerangkan kejadian yang baru saja dialami mobil di depanku ini.
“Udah sana jangan ngelamun. Cepetan sana liat anak loe di rumah sakit.”
Segera kulangkahkan kakikku mendekati tukang ojek di depan ITC Cipulir Mas.
Tak kupedulikan lagi nasib Bang Udin, Metro Mini beserta penumpang di dalamnya. Tak kupedulikan lagi orang-orang yang masih berkerumun di sekitar mobil yang terguling tadi.
“Bang, cepet anterin saya ke Rumah Sakit Kartini Cipulir.”, kataku tergesa-gesa kepada tukang ojek.
lalu, nasib budi gimana?
BalasHapus@amel:
BalasHapusSemoga nasib si Budi baik-baik saja dan bisa selamat....
bagus beni....(afgan KW) haha
BalasHapuskunjungi jg ya blog aku
ceritacewekatro.blogdetik.com
mw donk ikt proyek nulisnya :)
@Anonim:
BalasHapusThank you cewek katro (kamu gak nyebutin nama sih,hehe..)...Ayo kalo mau ikut proyeknya juga.